Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?)

Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?) - Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?) telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya. Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru Artikel Trending, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.

Judul : Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?)

link : Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?)

Motobalapan |

Agama seharusnya dipakai untuk membersihkan kebejatan moral para politisi busuk dari ranah kekuasaan negara. Tapi yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, agama diperkosa dan ditunggangi para politisi busuk lewat politisasi agama untuk merebut kekuasaan. Apa hasilnya? Mereka yang menggunakan agama untuk merebut kekuasaan dengan menggunakan politisasi agama, terbukti tidak becus bekerja dan kebijakannya kerap melahirkan kontroversi. Celakanya, ekslusivisme politik identitas agama tersebut, justru membuat perpecahan bangsa. Haruskah Indonesia tersesat dalam perang saudara seperti yang terjadi di Yaman dan Suriah akibat provokasi hoax politik identitas?

Menurut kajian Haikal Fadhil Anam (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), politik identitas Islam telah mewarnai dalam dinamika demokrasi di Indonesia. Hal itu dapat dilihat di panggung politik Indonesia pada saat Pilkada maupun Pemilu dan Pilpres. Haikal Fadhil Anam menyebut, politik identitas Islam muncul dalam gelombang yang sangat besar setelah mobilisasi masa menjelang Pilkada Jakarta pada tahun 2017.  Namun demikian, pengaruhnya terhadap demokrasi atas ekslusivisme politik identitas Islam tersebut, justru dinilai bisa menimbulkan perpecahan bangsa.

Meski politik identitas terbukti ampuh untuk merebut kekuasaan di DKI Jakarta, tapi tokoh yang menduduki jabatan Gubernur DKI Jakarta ternyata tak mampu menunjukkan hasil kerja yang progresif melainkan kerap menimbulkan kontroversi, terjadi pemborosan anggaran hingga korupsi.  Contohnya, program normalisasi sungai yang dijalankan Jokowi untuk mengatasi banjir di Jakarta ditolak Anies Baswedan, tapi janjinya untuk melakukan naturalisasi sungai tidak ada wujudnya.  Akibatnya, warga Jakarta sering mengalami banjir. Bahkan, Anies mendapatkan kartu merah dan surat peringatan dari koalisi warga Jakarta.

Fenomena politisasi agama pada Pilkada DKI Jakarta, juga terjadi dalam Pilpres 2019. Agama diperkosa lewat politisasi ayat agama oleh sejumlah ormas berbasis agama. Yang terjadi, rasionalitas masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya jadi terkubur oleh emosi dan sentimen identitas agama maupun etinis.  Pasca Pilpres 2019, pasangan Joko Widodo - Makruf Amin berupaya melakukan rekonsiliasi dengan merangkul Prabowo - Sandi guna meredam polarisasi di tengah masyarakat. Meski Prabowo dan Sandi telah diberi jabatan di "Kabinet Jokowi Jilid 2", polarisasi di tengah masyarakat tetap terjadi yang berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa. Para pendukung Hizbut Tahrir maupun Ikhwanul Muslimin yang ikut mendukung Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019, hingga kini tetap mengkampnyekan pendirian khilafah. Mereka terus menggunakan strategi menyebar hoax dan ujaran kebencian berbasis isu agama untuk mendelitimasi kekuasaan pemerintah.

Celakanya, menjelang Pilpres 2024 ini, politik identitas tampaknya juga akan dimainkan kembali. Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, gejala politik identitas akan kembali mewarnai dinamika politik 2024. Hal ini perlu diwaspadai karena kurang lebih satu dekade, jagat politik nasional diguncang oleh politik identitas yang diperparah dengan propaganda ala post-truth. Karyono mengatakan, berbagai narasi yang menggiring opini publik ke dalam inkubator politik SARA bertebaran di ruang publik. "Aroma politik identitas semakin menyengat belakangan ini ketika kelompok Islam politik yang tergabung dalam Ijtima Ulama mulai menampakkan arah dukungan kepada sejumlah tokoh yang digadang-gadang menjadi calon presiden 2024," kata Karyono.

Seperti diketahui, munculnya Forum Ijtima Ulama dan Pemuda Islam Indonesia (PII) se-Jawa Barat (Jabar) mendeklarasikan dukungan terhadap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, menjadi berita di berbagai media. Politisasi agama itu tampak terstruktur karena dukungan dilakukan di tiap daerah. Deklarasi juga telah dilakukan di Jakarta yang dihadiri sejumlah tokoh, diantaranya Dedi Tuan Guru, Habib Fahiri, Masri Ikoni, Dede Ruba'i Misbahul Alam, Moh. Ahbab Hasbi, Aziz Yanuar, Habib Fahmi Alatas, Habib M. Reza Assegaf, Kana Kurniawan, Afandi Ismail, Yosse Hayatullah, Wizdan Fauran, dan Fahmi Faisal.

Menurut Karyono, klaim penilaian bahwa ada tokoh yang dekat dengan ulama dan diangggap mewakili aspirasi umat merupakan pandangan terlalu subjektif dan tidak tepat. "Klaim bahwa Sandiaga dianggap dekat ulama, pandangan tersebut terlalu subjektif, penilaiannya tidak berdasarkan realitas obyektif. Alasan dan pertimbangannya lebih menonjol kepentingan politik, kekuasan dan sentimen kelompok yang dibalut agama," jelas Karyono.

Menurut Karyono, pengalaman pada Pilkada DKI Jakarta maupun Pilpres 2014 dan 2019 harusnya menjadi pelajaran masyarakat terutama umat Islam agar tidak terjebak dalam tipu muslihat para petualang politik yang menggunakan agama sebagai jubah dan barang dagangan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kekuasaan. Faktanya, selama ini rakyat yang dirugikan, kerap menjadi korban dari konflik politik yang menggunakan isu SARA. Di era post-truth, dampak penggunaan isu SARA lebih berbahaya dari isu lainnya.

Karyono berharap, Sandiaga, Anies Baswedan maupun tokoh lain yang memiliki hasrat maju sebagai Capres dan Cawapres 2024 harus bisa mengendalikan syahwat politik untuk tidak melakukan politisasi agama maupun sentimen suku dan ras untuk kepentingan elektoral. "Hal yang paling penting untuk menjadi perhatian semua pihak adalah bahwa politisasi SARA merusak demokrasi dan toleransi, membelah persatuan bangsa dan meninggalkan luka dalam yang sulit disembuhkan," tegas Karyono.

Pendapat serupa juga dipaparkan Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasaini. Menurutnya, dukungan yang diberikan oleh para ulama di Ijtima Ulama terhadap Sandiaga Uno merupakan kreasi buruk karena bisa merusak iklim demokrasi. "Politik identitas adalah kreasi buruk praktik politik yang merusak kualitas demokrasi dan kualitas pemilu," kata Ismail Hasaini kepada wartawan (20/12/2021).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah Sandiaga Uno dan Anies Baswedan melawan syahwatnya sendiri agar tak menggunakan politik identitas dalam kontestasi demokrasi? Bila keduanya masih memainkan simbul agama lagi demi mencari simpati, maka hanya satu jawabnya; jangan pernah terprovokasi oleh narasi-narasi sentimen agama yang bisa membuat Indonesia terjebak konflik horisontal akibat sentimen agama seperti yang terjadi Yaman maupun Suriah.

Hasil kajian Haikal Fadhil Anam sangat benar bahwa tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah berkembangnya politik identitas. Sebab, di balik proses demokrasi prosedural yang diselenggarakan KPU, ada kelompok intoleran yang selalu menebar provokasi sentimen agama demi mendirikan negara khilafah dengan menggunakan hoax. Provokasi hoax sentimen agama itu, terus digencarkan oleh kelompok intoleran pendukung Hizbut Tahrir maupun Ikhwanul Muslimin yang telah diharamkan negara-negara di Timur Tengah.

Fakta yang ditemukan LIPI membuktikan, sejumlah tindakan intoleransi di berbagai daerah didorong oleh politisasi agama. Kalangan ini memanfaatkan sensitivitas warga yang cenderung mudah meletup ketika ada gangguan terhadap sesuatu yang sangat prinsip dalam kehidupannya, baik yang terkait dengan persoalan ekonomi maupun politik. Bila masyarakat mudah ditipu oleh hoax sentimen agama, risikonya masa depan Indonesia bisa terancam oleh konflik seperti yang terjadi di Suriah dan Yaman. Hal inilah yang diinginkan pendukung khilafah yang anti demokrasi demi mendirikan negara berdasar agama. Mereka akan tepuk tangan bila demokrasi berhasil dihancurkan dengan isu agama. Bukan begitu?




Demikianlah Artikel Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?)

Sekianlah artikel Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Paradoks Politik Identitas di Indonesia: Agama Diperkosa Para Politisi Busuk Demi Jabatan, Masyarakat Selalu Jadi Korban (?) dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2022/05/paradoks-politik-identitas-di-indonesia.html

Subscribe to receive free email updates: