Islam Itu Tak Seganas Bahar Smith atau Sesadis Teroris Bila Belajar Tasawuf: Apa Itu Tasawuf?
Judul : Islam Itu Tak Seganas Bahar Smith atau Sesadis Teroris Bila Belajar Tasawuf: Apa Itu Tasawuf?
link : Islam Itu Tak Seganas Bahar Smith atau Sesadis Teroris Bila Belajar Tasawuf: Apa Itu Tasawuf?
Dalam beberapa dekade terakhir ini, kegaduhan akibat perbedaan keyakinan agama kerap bermunculan. Gejalanya sudah mulai tampak semenjak rezim otoriter Orde Baru jatuh pada tahun 1998. Yang menyedihkan, kegaduhan itu bukan hanya terbatas pada tataran wacana dan kata-kata saja, tapi ada juga yang disertai dengan aksi-aksi anarkhis dan persekusi, seperti yang menimpa pengikut Ahmadiyah atau pengikut Syiah.
Ini sungguh memprihatinkan. Apalagi, dalam persekusi itu ada pengikut Ahmadiyah di Jawa Barat yang tewas dikeroyok dan diinjak-injak. Ada juga warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat yang terusir dari kampungnya. Yang lebih mengerikan, ada pula serangkaian aksi teror bom, seperti bom Bali yang menewaskan ratusan orang dan serangkaian aksi teror lainnya. Hal ini diperparah lagi oleh banyaknya penceramah yang berbahasa brutal seperti yang ditunjukkan Bahar Smith, Gus Nur dan lain-lain.
Tak aneh jika banyak yang bertanya-tanya, benarkah ajaran Islam sangat identik dengan kekerasan dan sifat sangar seperti yang ditampakkan oleh Bahar Smith atau Gus Nur? Pertanyaan ini mungkin akan bisa dicari jawabnya dengan jelas bila mempelajari Tasawuf.
Pada mulanya, Islam di Indonesia sangat berorientasi pada tasawuf yang bisa berdamai dengan siapa saja dan tidak galak ketika ada purifikasi yang lebih berorientasi kepada Syari’ah. Harun Nasution dalam Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986, h. xi), menyatakan bahwa ajaran yang menonjol justru fikih, justru memberikan gambaran yang “pincang” tentang Islam. Padahal selain aspek fikih, Islam memiliki aspek teologi, filsafat, mistik, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Aspek lain, dalam hal ini tasawuf, barangkali perlu ditambah porsi dan dosisnya dalam pengajaran di pesantren. Kenapa tasawuf? Menurut pengkaji tasawuf Ibn Araby, Kautsar Azhari Noer, “Isi lebih toleran ketimbang kulit”. Baginya, tasawuf adalah pengajaran isi atau inti agama yang tidak tersekat kaku oleh ruang hitam-putih atau halal-haram.
Ajaran yang tanpa sekat inilah yang diyakini akan menjadi tali perajut bagi toleransi dan perdamaian dunia. Dalam buku Ragam Ekspresi Islam Nusantara (Jakarta: the WAHID Institute, 2008, h. 78-80), pada 2007, The WAHID Institute bahkan pernah melakukan penelitian yang berkesimpulan bahwa “tasawuf adalah tenda besar kedamaian”.
Pertanyaannya, tasawuf seperti apa yang akan menghantarkan pada toleransi dan perdamaian sesungguhnya? Secara umum, ajaran dan tipe tasawuf apapun akan mengajarkan pada penghargaan terhadap makhluk Allah Swt, tanpa membedakan latar belakang agama, status sosial, suku dan sebagainya.
Secara khusus, biasanya ajaran tasawuf dengan dosis tinggi (yang tidak lagi akhlaqi, melainkan falsafi) lebih menggiring pada toleransi dan perdamaian. Menurut Kautsar, tasawuf yang toleran kebanyakan bersentuhan (atau memiliki geneologi) dengan wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi. Asghar Ali Enginer dalam Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2000, h. 297) menuturkan, sufi yang menganut paham wahdah al-wujud dapat bergaul leluasa dengan semua orang tanpa melihat latar belakangnya, karena konsep ini dinilai “universal”.
Dikisahkan Asghar (h. 296), suatu kali Nizamuddin Awliya’, berjalan sepanjang sungai Jamuna dengan muridnya, Amir Khusrau. Dia melihat beberapa wanita Hindu sedang mandi dan menyembah matahari. Dia berujar; “Har qaum re dine wa qibla gahe”/bagi tiap-tiap umat, ada agama dan cara beribadahnya masing-masing. Ini contoh teladan toleransi dan penghargaan yang mengagumkan dari orang-orang yang berbeda, yang sebenarnya telah diajarkan oleh semua spiritualitas agama apapun.
Dalam konteks Islam, adalah tasawuf yang paling layak dikedepankan sebagai wujud nyata toleransi dan perdamaian yang adiluhung. Bahkan dalam taraf tertentu, toleransi yang ditunjukkan kaum sufi terkadang sampai batas “toleransi gila”.
Untuk konteks ulama Indonesia, misalnya, penghargaan yang tinggi pada perbedaan diantaranya disampaikan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani. Dalam al-Futuhat al-Madaniyyah (T.T[.: T.Th., h. 21-22), ia menuliskan: Janganlah kalian memandang seseorang dengan pandangan merendahkan dan menghinakan, meskipun ia seorang musyrik, kareka khawatir akan berdampak padamu. Bisa saja, ma’rifah-mu (pada Allah) terampas, padahal ia bisa memberikannya. Apalagi kepada non-muslim yang masih setia dan tidak menduakan Tuhan, kepada musyrik (orang yang menduakan Tuhan) saja, kaum muslim terlarang (la) menatapnya dengan pandangan menghinakan.
Pandangan terbuka Syeikh Nawawi al-Bantani (h. 2) itu dimungkinkan terjadi karena karya ini merupakan percikan pemikiran tasawuf Ibn ‘Araby. Penulis Marah Labid ini mengakui, intisari karyanya dikutip dari dua kitab: al-Niqayah karya al-Suyuti dan al-Futuhat al-Makkiyyah karya Muhy al-Din bin ‘Arabi. Ini menunjukkan, secara geneologi pemikiran, Syeikh Nawawi cukup akrab dan tidak alergi dengan Ibn ‘Araby dan karyanya, kendati sufi Andalus itu dinilai kontroversial oleh berbagai kalangan lantaran dianggap mengusung doktrin wahdah al-wujud.
Ajaran-ajaran seperti inilah yang seharusnya mulai disemaikan pelan-pelan di pesantren, tentunya dengan menggunakan bahasa ulama-ulama pesantren sendiri seperti Syeikh Nawawi, sehingga tidak terjebak oleh label yang diusung.
Diakui, dalam tradisi pesantren, rujukan ajaran tasawuf mereka biasanya berkutat pada tasawuf sunni (istilah yang juga perlu diuji secara akademik), yakni al-Junayd dan Imam al-Ghazali – dikenal sebagai penggagas fikih-sufistik – dan cenderung menafikan tasawuf berdosis tinggi semisal Ibn ‘Araby, Rumi, al-Jili, dll. Yang penting dirumuskan adalah formulasi transformasinya, sehingga ajaran-ajaran berdosis tinggi itu bisa renyah/ringan disampaikan dan tidak menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat umumnya.
Selain itu, perjumpaan-perjumpaan dengan kelompok yang berbeda juga penting dilakukan secara intensif. Hal ini diyakini akan turut mengikis praduga-praduga negatif yang berpotensi terjadi karena perbedaan. Dengan modal ajaran Islam yang uviversal (rahmah li al-‘alamin), umat Islam umumnya dan para santri khususnya, sesungguhnya punya potensi besar untuk membangun – yang oleh Said Aqil Siroj dalam Tasawuf sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006, h. 63) disebut – ukhuwwah imaniyyah (persaudaraan lintas iman). Inilah cikal perdamaian dunia.
Abuya Dr. Arrazy Hasyim pernah memaparkan Pengantar Ilmu Tasawuf dalam kajian di Masjid Al-Ittihad. Berikut videonya.
Demikianlah Artikel Islam Itu Tak Seganas Bahar Smith atau Sesadis Teroris Bila Belajar Tasawuf: Apa Itu Tasawuf?
Anda sekarang membaca artikel Islam Itu Tak Seganas Bahar Smith atau Sesadis Teroris Bila Belajar Tasawuf: Apa Itu Tasawuf? dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2022/02/islam-itu-tak-seganas-bahar-smith-atau.html