'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'
'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional' telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Trending, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'
link : 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'
Judul : 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'
link : 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'
Motobalapan | Buku berjudul “Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional” diluncurkan dan dibedah isinya di Menara Batavia, The President Lounge, Jakarta Pusat, Rabu (10/1/2018).
Dalam bedah buku tersebut, beberapa poin yang diungkap adalah intelejen hari ini dituntut mampu beradaptasi terhadap dinamika perkembangan digital.
Mengingat kondisi sekarang perang di era digital berlangsung sangat cepat, sunyi dan senyap.
Jika dulu gerakan penyusupan intelijen terhadap suatu negara melalui jalur darat, kini penyusupan dilakukan melalui dunia cyber.
“Telah muncul berbagai ancaman dalam bentuk dunia baru. Seperti cyber war, proxy war, perang asimetris, cyber terorism, perang spionase,” kata Ngasiman Djoyonegoro, si penulis buku.
Di era digital sekarang juga muncul istilah low intensity wars (perang intensitas rendah), small wars (perang-perang kecil), network centric warfare (perang berpusat pada jejaring), fourth generation wars (perang generasi keempat), non-conventional/hybrid wars (perang nonkonvensional), dan asymmetric wars (perang asimetris).
Ia mengatakan, dalam satu dasawarsa pertama abad 21, jumlah orang yang terhubung ke internet melesat jauh, dari 350 juta pengguna menjadi 2 miliar pengguna.
Pada tempo yang sama, jumlah pengguna seluler melambung dari 750 juta pengguna hingga 5 miliar orang. Bahkan diperkirakan sudah mencapai 6 miliar lebih.
Artinya, pada tahun-tahun mendatang, dunia sudah dalam genggaman digital. Siapa yang menguasai digital berarti menguasai dunia, tambah Ngasiman.
Atas situasi tersebut, lanjut dia, intelijen menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI. Intelijen dituntut mampu memahami sepenuhnya bentuk ancaman – kejahatan baik yang berskala lokal maupun global.
Peperangan yang dulunya identik dengan senjata, peluru, pembunuhan, pengeboman, dan sebagainya kini telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi.
Kini, peperangan telah memiliki model baru yang jauh berbeda dengan peperangan konvensional.
“Kita bayangkan, kelompok teroris, perbankan hingga profiling terhadap orang dan perusahaan, melakukan aksinya dengan dukungan digital. Tak hanya itu, penyebaran informasi hoax bernada SARA yang dapat memperpecah bangsa sekarang juga berlangsung melalui perangkat digital,” tegas Ngasiman.
Ngasiman mencatat, sepanjang tahun 2017 lalu, ada 205.502.159 kali serangan siber yang menyerbu pertahanan digital Indonesia.
Serangan ini mulai dari hoax, peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), peretasan website pemerintah dan BUMN, hingga serangan ransomware yang secara langsung meminta tebusan kepada masyarakat.
Buku ini ditulis dengan pendekatan ilmiah populer. Terdiri dari 4 (empat) bab, buku ini mencoba mengulas isu-isu penting dan genting dalam dunia intelijen.
Dalam bedah buku tersebut, beberapa poin yang diungkap adalah intelejen hari ini dituntut mampu beradaptasi terhadap dinamika perkembangan digital.
Mengingat kondisi sekarang perang di era digital berlangsung sangat cepat, sunyi dan senyap.
Jika dulu gerakan penyusupan intelijen terhadap suatu negara melalui jalur darat, kini penyusupan dilakukan melalui dunia cyber.
“Telah muncul berbagai ancaman dalam bentuk dunia baru. Seperti cyber war, proxy war, perang asimetris, cyber terorism, perang spionase,” kata Ngasiman Djoyonegoro, si penulis buku.
Di era digital sekarang juga muncul istilah low intensity wars (perang intensitas rendah), small wars (perang-perang kecil), network centric warfare (perang berpusat pada jejaring), fourth generation wars (perang generasi keempat), non-conventional/hybrid wars (perang nonkonvensional), dan asymmetric wars (perang asimetris).
Ia mengatakan, dalam satu dasawarsa pertama abad 21, jumlah orang yang terhubung ke internet melesat jauh, dari 350 juta pengguna menjadi 2 miliar pengguna.
Pada tempo yang sama, jumlah pengguna seluler melambung dari 750 juta pengguna hingga 5 miliar orang. Bahkan diperkirakan sudah mencapai 6 miliar lebih.
Artinya, pada tahun-tahun mendatang, dunia sudah dalam genggaman digital. Siapa yang menguasai digital berarti menguasai dunia, tambah Ngasiman.
Atas situasi tersebut, lanjut dia, intelijen menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI. Intelijen dituntut mampu memahami sepenuhnya bentuk ancaman – kejahatan baik yang berskala lokal maupun global.
Peperangan yang dulunya identik dengan senjata, peluru, pembunuhan, pengeboman, dan sebagainya kini telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi.
Kini, peperangan telah memiliki model baru yang jauh berbeda dengan peperangan konvensional.
“Kita bayangkan, kelompok teroris, perbankan hingga profiling terhadap orang dan perusahaan, melakukan aksinya dengan dukungan digital. Tak hanya itu, penyebaran informasi hoax bernada SARA yang dapat memperpecah bangsa sekarang juga berlangsung melalui perangkat digital,” tegas Ngasiman.
Ngasiman mencatat, sepanjang tahun 2017 lalu, ada 205.502.159 kali serangan siber yang menyerbu pertahanan digital Indonesia.
Serangan ini mulai dari hoax, peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), peretasan website pemerintah dan BUMN, hingga serangan ransomware yang secara langsung meminta tebusan kepada masyarakat.
Buku ini ditulis dengan pendekatan ilmiah populer. Terdiri dari 4 (empat) bab, buku ini mencoba mengulas isu-isu penting dan genting dalam dunia intelijen.
Demikianlah Artikel 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'
Sekianlah artikel 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional' kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional' dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2018/03/intelijen-di-era-digital-prospek-dan.html