Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap
Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Teknologi, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap
link : Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap
Judul : Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap
link : Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap
Motobalapan |
KOMPAS.com - Mungkin sejak semula manusia telah memiliki kesadaran akan alam yang senantiasa mengancam keberlangsungan hidup mereka. Takut akan hewan pemangsa, bencana alam, dan banyak lagi hal lain yang bisa terjadi.Agen Bandar Q
Namun seiring peradaban berkembang, rasa takut itu juga berkembang. Misalnya, sekarang manusia modern, yang tinggal di kota-kota besar, tak perlu takut lagi akan dimangsa binatang buas. Lebih tepatnya, ketakutan akan binatang buas boleh disebut ketakutan yang tidak rasional, karena kemungkinannya -- jikapun ada -- sangat kecil sekali.
Tapi seakan-akan bersamaan dengan berkembangnya peradaban, maka muncul juga ketakutan-ketakutan serta kecemasan-kecemasan baru pada diri manusia. Ketakutan yang boleh dibilang juga tak beralasan.
Satu contoh rasa takut, atau tepatnya kecemasan, yang melanda manusia modern adalah FOMO, singkatan dari fear of missing out (takut ketinggalan). Ketakutan ini muncul dari kenyataan bahwa manusia (modern) tidak punya cukup waktu untuk melakukan semua yang ia inginkan.
FOMO-lah agaknya yang mendorong orang untuk mau mencoba hal-hal baru yang lagi ngetren. Misalnya, ada toko es krim baru di pusat kota yang konon rasanya enak sekali sampai diantre ratusan orang setiap harinya. Foto-foto es krim itu pun diunggah ke media sosial, tak kurang oleh para pesohor medsos pula! FOMO akan mendorong manusia untuk mencoba es krim itu.
FOBO
Anand Tilak, Country Manager Facebook Indonesia, dalam sebuah pertemuan dengan media di Jakarta, memaparkan sebuah studi yang menggarisbawahi satu jenis kecemasan lainnya: FOBO alias fear of being offline.
Mengutip sebuah studi dari Crowd DNA, Tilak mengatakan 73 persen remaja di Indonesia mengaku ingin selalu terhubung ke internet, di manapun mereka berada. Sebanyak 69 persen anak muda itu bahkan mengaku lebih baik tidak menonton televisi daripada tidak terhubung ke internet.
Mungkin ada hubungannya dengan FOMO, FOBO menunjukkan rasa cemas yang dialami seseorang jika ia tidak terhubung ke internet sejenak saja. Terhubung ke jaringan internet bisa jadi mewakili sebuah kondisi "aman" untuk orang tersebut, bahwa selama ia bisa online ia tak akan tertinggal.
FOBO bisa menjelaskan mengapa orang tertentu "belingsatan" saat aplikasi media sosialnya (entah Path, Twitter, Facebook atau apapun) tak bisa terhubung. Saking cemasnya sampai orang tersebut rela meminjam koneksi dari orang lain atau berpindah lokasi demi mengejar koneksi internet.
Kecemasan yang sama mungkin terwujud dalam keinginan untuk selalu memiliki gadget yang terisi penuh baterainya. Maka kita saksikan bagaimana power bank begitu populer dan nyaris semua penduduk Jakarta memilikinya.
Padahal ketakutan semacam itu memang sesuatu yang seringkali tidak rasional. Ya, ada skenario tertentu ketika keterhubungan dengan jaringan internet adalah sesuatu yang vital dan sangat penting, mungkin terkait pekerjaan atau hal lain. Tapi pada umumnya, keterhubungan secara terus-menerus tidaklah terkait langsung dengan keberlangsungan hidup kita. Nggak online nggak mati kok, percaya deh!
Teknologi ketakutan
Teknologi selain bisa menimbulkan efek samping kecemasan dan ketakutan semacam itu, ternyata juga bisa menjadi penghantar rasa cemas dan takut yang cukup efektif. Hal ini terjadi karena begitu mudahnya suatu pesan tersebar melalui teknologi.
Saat kasus pembegalan terjadi di beberapa wilayah, misalnya, pesan berantai soal hal ini -- tak peduli benar atau tidaknya -- menyebar bagaikan listrik di superkonduktor. Pesan-pesan yang membantu menyebarkan rasa takut akan sesuatu yang, meskipun memang ada kejadian nyatanya, belum tentu jadi ancaman langsung.
Demikian juga teknologi yang sama dimanfaatkan untuk menyebarkan rasa takut pada "yang lain". Maka fitnah dan ucapan keji atas golongan lain, yang dianggap berbeda dengan golongan sendiri, mudah sekali menyebar lewat sarana seperti WhatsApp, BlackBerry Messenger, Line dan lainnya.
Hal itu sulit untuk dicegah dan tak bisa dilarang. Manusia agaknya akan selalu memanfaatkan sarana apapun yang ia miliki untuk menyebarkan informasi, terutama yang dianggap bisa mengancam keberlangsungan hidupnya.
Padahal teknologi informasi bisa digunakan untuk menenangkan diri dan menyudahi rasa cemas yang berlebihan. Sedikit pencarian, via Google atau situs lainnya, bisa dilakukan untuk mencari klarifikasi atas kabar yang beredar.
Sedikit pencarian juga bisa dilakukan untuk mengetahui tentang pihak lain yang selama ini disebut-sebut sebagai "monster", "setan" atau hal-hal buruk lainnya. Luangkan waktu untuk mempelajari manusia lain dan kita niscaya akan sadar bahwa mereka adalah manusia juga, yang tak pantas "dibunuh" hanya karena berbeda.
Sensor atau tidak sensor?
Pada bagian ini, saya kemudian merasakan dilema pribadi. Di satu sisi, saya percaya bahwa informasi yang terbuka adalah perlu untuk menjaga manusia tetap beradab. Dengan kemampuan melihat isi pikiran pihak lain, maka kita bisa mencoba memahami kedudukan pihak lain.
Jika menurut pada pemikiran itu, sensor adalah sesuatu yang tidak perlu. Sensor justru mencegah akses pada pemikiran pihak lain, yang artinya mencegah akses pada pengertian pada pihak lain.
Tapi di sisi lain, saya sungguh tidak melihat adanya manfaat dari penyebaran kebencian. Kemudian timbul kecemasan bahwa kebencian yang dipropagandakan itu bisa menular pada pembacanya, yang kemudian berujung pada tindakan. Di situ bahayanya!
Idealnya, semua pengguna internet memiliki daya pikir yang baik sehingga bisa melihat kebencian itu sebagai sesuatu yang tak beralasan. Tapi kenyataannya tidak demikian, ada banyak pengguna yang mungkin terpengaruh, karena kurang dewasanya pemikiran, atau sebab lainnya.
Dalam hal ini, pemikiran saya diliputi oleh kecemasan. Kita tidak mau kan terulang lagi peristiwa kebencian massal seperti yang pernah menodai sejarah bangsa-bangsa di bumi ini berkali-kali, di Eropa maupun di negeri kita sendiri?Domino 99
Mungkin ada baiknya saya redakan kecemasan itu dengan tidak terhubung dulu ke jaringan internet, sejenak saja. Mungkin dengan demikian saya bisa melemaskan urat syaraf yang tegang dan mengambil napas dalam-dalam.
KOMPAS.com - Mungkin sejak semula manusia telah memiliki kesadaran akan alam yang senantiasa mengancam keberlangsungan hidup mereka. Takut akan hewan pemangsa, bencana alam, dan banyak lagi hal lain yang bisa terjadi.Agen Bandar Q
Namun seiring peradaban berkembang, rasa takut itu juga berkembang. Misalnya, sekarang manusia modern, yang tinggal di kota-kota besar, tak perlu takut lagi akan dimangsa binatang buas. Lebih tepatnya, ketakutan akan binatang buas boleh disebut ketakutan yang tidak rasional, karena kemungkinannya -- jikapun ada -- sangat kecil sekali.
Tapi seakan-akan bersamaan dengan berkembangnya peradaban, maka muncul juga ketakutan-ketakutan serta kecemasan-kecemasan baru pada diri manusia. Ketakutan yang boleh dibilang juga tak beralasan.
Satu contoh rasa takut, atau tepatnya kecemasan, yang melanda manusia modern adalah FOMO, singkatan dari fear of missing out (takut ketinggalan). Ketakutan ini muncul dari kenyataan bahwa manusia (modern) tidak punya cukup waktu untuk melakukan semua yang ia inginkan.
FOMO-lah agaknya yang mendorong orang untuk mau mencoba hal-hal baru yang lagi ngetren. Misalnya, ada toko es krim baru di pusat kota yang konon rasanya enak sekali sampai diantre ratusan orang setiap harinya. Foto-foto es krim itu pun diunggah ke media sosial, tak kurang oleh para pesohor medsos pula! FOMO akan mendorong manusia untuk mencoba es krim itu.
FOBO
Anand Tilak, Country Manager Facebook Indonesia, dalam sebuah pertemuan dengan media di Jakarta, memaparkan sebuah studi yang menggarisbawahi satu jenis kecemasan lainnya: FOBO alias fear of being offline.
Mengutip sebuah studi dari Crowd DNA, Tilak mengatakan 73 persen remaja di Indonesia mengaku ingin selalu terhubung ke internet, di manapun mereka berada. Sebanyak 69 persen anak muda itu bahkan mengaku lebih baik tidak menonton televisi daripada tidak terhubung ke internet.
Mungkin ada hubungannya dengan FOMO, FOBO menunjukkan rasa cemas yang dialami seseorang jika ia tidak terhubung ke internet sejenak saja. Terhubung ke jaringan internet bisa jadi mewakili sebuah kondisi "aman" untuk orang tersebut, bahwa selama ia bisa online ia tak akan tertinggal.
FOBO bisa menjelaskan mengapa orang tertentu "belingsatan" saat aplikasi media sosialnya (entah Path, Twitter, Facebook atau apapun) tak bisa terhubung. Saking cemasnya sampai orang tersebut rela meminjam koneksi dari orang lain atau berpindah lokasi demi mengejar koneksi internet.
Kecemasan yang sama mungkin terwujud dalam keinginan untuk selalu memiliki gadget yang terisi penuh baterainya. Maka kita saksikan bagaimana power bank begitu populer dan nyaris semua penduduk Jakarta memilikinya.
Yuk Nonton & Download Movie kesayangan anda di
http://bit.ly/2DKRf50
Teknologi ketakutan
Teknologi selain bisa menimbulkan efek samping kecemasan dan ketakutan semacam itu, ternyata juga bisa menjadi penghantar rasa cemas dan takut yang cukup efektif. Hal ini terjadi karena begitu mudahnya suatu pesan tersebar melalui teknologi.
Saat kasus pembegalan terjadi di beberapa wilayah, misalnya, pesan berantai soal hal ini -- tak peduli benar atau tidaknya -- menyebar bagaikan listrik di superkonduktor. Pesan-pesan yang membantu menyebarkan rasa takut akan sesuatu yang, meskipun memang ada kejadian nyatanya, belum tentu jadi ancaman langsung.
Demikian juga teknologi yang sama dimanfaatkan untuk menyebarkan rasa takut pada "yang lain". Maka fitnah dan ucapan keji atas golongan lain, yang dianggap berbeda dengan golongan sendiri, mudah sekali menyebar lewat sarana seperti WhatsApp, BlackBerry Messenger, Line dan lainnya.
Hal itu sulit untuk dicegah dan tak bisa dilarang. Manusia agaknya akan selalu memanfaatkan sarana apapun yang ia miliki untuk menyebarkan informasi, terutama yang dianggap bisa mengancam keberlangsungan hidupnya.
Padahal teknologi informasi bisa digunakan untuk menenangkan diri dan menyudahi rasa cemas yang berlebihan. Sedikit pencarian, via Google atau situs lainnya, bisa dilakukan untuk mencari klarifikasi atas kabar yang beredar.
Sedikit pencarian juga bisa dilakukan untuk mengetahui tentang pihak lain yang selama ini disebut-sebut sebagai "monster", "setan" atau hal-hal buruk lainnya. Luangkan waktu untuk mempelajari manusia lain dan kita niscaya akan sadar bahwa mereka adalah manusia juga, yang tak pantas "dibunuh" hanya karena berbeda.
Sensor atau tidak sensor?
Pada bagian ini, saya kemudian merasakan dilema pribadi. Di satu sisi, saya percaya bahwa informasi yang terbuka adalah perlu untuk menjaga manusia tetap beradab. Dengan kemampuan melihat isi pikiran pihak lain, maka kita bisa mencoba memahami kedudukan pihak lain.
Jika menurut pada pemikiran itu, sensor adalah sesuatu yang tidak perlu. Sensor justru mencegah akses pada pemikiran pihak lain, yang artinya mencegah akses pada pengertian pada pihak lain.
Tapi di sisi lain, saya sungguh tidak melihat adanya manfaat dari penyebaran kebencian. Kemudian timbul kecemasan bahwa kebencian yang dipropagandakan itu bisa menular pada pembacanya, yang kemudian berujung pada tindakan. Di situ bahayanya!
Idealnya, semua pengguna internet memiliki daya pikir yang baik sehingga bisa melihat kebencian itu sebagai sesuatu yang tak beralasan. Tapi kenyataannya tidak demikian, ada banyak pengguna yang mungkin terpengaruh, karena kurang dewasanya pemikiran, atau sebab lainnya.
Dalam hal ini, pemikiran saya diliputi oleh kecemasan. Kita tidak mau kan terulang lagi peristiwa kebencian massal seperti yang pernah menodai sejarah bangsa-bangsa di bumi ini berkali-kali, di Eropa maupun di negeri kita sendiri?Domino 99
Mungkin ada baiknya saya redakan kecemasan itu dengan tidak terhubung dulu ke jaringan internet, sejenak saja. Mungkin dengan demikian saya bisa melemaskan urat syaraf yang tegang dan mengambil napas dalam-dalam.
Demikianlah Artikel Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap
Sekianlah artikel Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Teknologi dan Rasa Takut yang Merayap dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2018/01/teknologi-dan-rasa-takut-yang-merayap.html