Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia?
Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia?
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia? telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Teknologi, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia?
link : Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia?
Judul : Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia?
link : Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia?
Motobalapan |
KOMPAS.com—“Dengan bantuan mesin dan 170 pekerja, per hari kami menghasilkan 66.000 pon (sekitar 30.000 kg) kacang mede, sementara dulu hanya 2.000 pon (sekitar 907 kg) saat dikerjakan manual oleh 2.000 orang."Agen Bandar Q
Parafrase tersebut adalah salah satu kutipan dari video dan artikel di situs Wall Street Journal (WSJ) tentang penggunaan mesin dan pengaruhnya bagi industri.
WSJ memulai sajian kontennya dari kesibukan pekerja di India mengupas biji mede. Detail.
Gambar lalu beralih ke industri serupa di Vietnam. Bedanya, di negara ini proses produksi lebih banyak mengandalkan mesin. Hasilnya berlipat kali.
Tenaga manusia di industri mede Vietnam hanya untuk fungsi pengawasan dan penanganan gangguan. Itu pun beberapa orang saja yang diperlukan untuk skala berlipat kali industri serupa di India.
Pada hari ini, tutur WSJ, Vietnam sudah menggusur India sebagai pusat kacang mede dunia.
Ilustrasi robot yang menggantikan fungsi manusia.
Mesin cenderung lebih presisi dalam pekerjaannya. Pekerjaan berulang pun minim kesalahan. Memilah kualitas produk pun tak mustahil dilakukan mesin.
Penggunaan mesin yang bisa menggantikan kerja manusia tak hanya terjadi di industri seperti cerita WSJ di atas. Hampir semua lini industri memungkinkan penggunaan mesin—dari sederhana sampai cerdas—untuk pekerjaan yang sebelumnya dipegang manusia.
Teknologi cerdas makin mengemuka sejalan dengan terus berkembangnya algoritma kecerdasan buatan ( artificial intelligence atau AI). Serasa belum cukup, teknologi informasi pun mengembangkan AI lebih lanjut ke ranah machine learning (ML) dan belakangan deep learning (DL).
Intinya, semua aktivitas yang selama ini dikerjakan manusia—manual pakai tangan atau mekanik dengan bantuan mesin—dipelajari lalu dikembangkan dan direplikasi dengan ML dan DL tersebut. Peralatan-peralatan dibuat bisa menggantikan manusia dengan benaman peranti lunak cerdas.
Salah satu contoh terkini, urusan menyalakan dan menghidupkan lampu sudah bisa dijalankan dengan bantuan sebuah speaker pintar. Speaker! Produk Google, misalnya, telah beredar di pasaran.
Seperti dalam film-film fiksi ilmiah, teknologi informasi saat ini sudah bisa mewujudkan peranti seperti speaker itu tadi yang mampu bercakap-cakap dan menjalankan berbagai perintah laiknya asisten kita.
Pertanyaan yang lalu mengemuka, di mana peran manusia pada masa mendatang? Atau, apakah pekerjaan manusia akan benar-benar tergantikan oleh mesin dan teknologi informasi?
“Saya percaya, kreativitas manusia tak akan benar-benar terkejar teknologi. Jadi, kemajuan teknologi ini semestinya (hanya) membuat manusia makin kreatif, tak lagi semata mengerjakan pekerjaan rutin,” ujar VP of Machine Learning Amazon Web Services ( AWS) Swami Sivasubramanian, dalam sesi wawancara khusus dengan peliput dari Indonesia, di Las Vegas, Amerika Serikat.
Sejumlah kekhawatiran mengenai kehadiran teknologi yang memungkinkan menggantikan peran manusia sudah beberapa kali muncul. Bahkan futurist seperti Gerd Leonhard sampai khusus menulis buku berjudul Technology vs Humanisme, sebagai respons atas menguatnya kekhawatiran tersebut.
Seperti halnya Swami, Leonhard juga menyebutkan bahwa area kerja manusia yang tak akan pernah bisa digantikan mesin adalah yang berkaitan dengan kreativitas dan hal-hal manusiawi. Hal-hal manusiawi itu, sebut Leonhard, mencakup pula soal intuisi, kurasi, pemilahan ide, etika, empati, dan emosi.
Untuk menguji apakah seseorang atau perusahaan akan mampu berhadapan dengan mesin atau tidak, Leonhard mengajukan sebuah pertanyaan sederhana. “Apa rencana Anda 5 tahun ke depan?” sebut dia, saat berbicara di Jakarta.
Kalau pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan rinci, ujar Leonhard, seseorang atau perusahaan itu harus khawatir soal masa depannya.
Kesiapan menghadapi lompatan teknologi
Forum " AWS re: Invent 2017" makin menguatkan prediksi Leonhard soal lompatan teknologi, terutama dalam konteks komputasi. Leonhard menyebut lompatan teknologi dalam 20 tahun ini akan jauh melampaui capaian 300 tahun terakhir.
AWS, anak perusahaan Amazon.com, kembali meluncurkan sejumlah layanan baru di AWS re: Invent 2017. Fokusnya adalah memungkinkan kemunculan aplikasi dan produk berbasis machine learning dan deep learning makin cepat terjadi.
Lebih dulu dikenal sebagai perusahaan penyedia layanan penyimpanan komputasi awan (cloud)—penyimpanan data yang tak lagi mengharuskan pembelian atau penyewaan server fisik oleh pemilik atau pengguna aplikasi—AWS sekarang justru makin menguatkan layanannya pada machine learning dan deep learning.
CEO AWS Andy Jassy dalam pidato kuncinya di ajang AWS re: Invent 2017 menegaskan bahwa perusahaannya sekarang bertujuan membantu setiap orang dan atau perusahaan untuk makin mudah dan cepat membuat produk berbasis machine learning dan deep learning.
“Tidak semua perusahaan punya pakar machine learning. Mempelajarinya dari awal juga tidak mudah. Prosesnya pun kompleks dan butuh banyak skill. Kami ingin menjadi solusi, dengan memungkinkan para developer mengerjakan aplikasi tanpa memusingkan apa yang ada di balik machine learning,” papar Jassy, di Las Vegas, Amerika Serikat.
Menurut Swami, adaptasi memang dibutuhkan. Perusahaan media, misalnya, harus diakui sebagai yang paling terdampak saat ini dengan lonjakan kemajuan di bidang teknologi informasi. Persaingan yang dihadapi media tak lagi dengan sesama media tetapi juga perusahaan teknologi informasi.
“Tak ada kata lain selain adaptasi. Tapi percayalah, kreativitas manusia itu tidak terbatas,” ujar Swami membesarkan hati, saat berbincang dengan Kompas.com seusai wawancara khusus dengan delegasi peliput dari Indonesia.
Sebelumnya, dalam wawancara, Swami bercerita tentang polah putrinya menyikapi sebuah isu, sebagai contoh betapa kreativitas manusia adalah kunci dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi saat ini.
“Tak ada yang bisa membayangkan mesin punya reaksi dan pemikiran seperti cara anak saya ketika berbincang spontan dengan saya,” ujar Swami.
Adapun produk-produk yang diluncurkan AWS sampai hajatan tahunannya yang keenam itu meliputi layanan (services) dari infrastruktur seperti framework dan server, sampai wahana pembelajaran “instan” bagi para developoer mempelajari machine learning yaitu AWS DeepLens.
Di antara kedua “kutub” tersebut, AWS juga menyediakan berbagai “perantara”, dari penyimpanan hingga pengelolaan. Semua produk AWS yang—tentu saja—berbasis cloud, memungkinkan setiap orang menyewa dalam ukuran kecil sampai sangat besar, membayar tagihan biaya sesuai pemakaian saja, serta menyesuaikan kapasitas pemakaian sewaktu-waktu.
Dengan layanan cloud, klaim AWS, orang tak perlu selalu membeli mahal fasilitas fisik yang memiliki kapasitas tertentu untuk mulai membangun aplikasi. Kapasitas disebut sebagai salah satu kelemahan dari fasilitas fisik.
Bisa jadi suatu alat memiliki kapasitas besar sementara kebutuhan penggunaannya masih kecil. Sebaliknya, kapasitas alat yang terbatas juga rentan butuh pembaruan terlalu cepat ketika aplikasinya ternyata melejit dan banyak dipakai konsumen.
Prospek Indonesia
Sebelumnya, Head of Customer Asia Pasific AWS Nick Walton mengatakan, visi AWS sejak berdiri pada 2006 adalah untuk melahirkan perusahaan-perusahaan teknologi dan startup laiknya generasi baru dari Facebook, Amazon, atau airbnb.
Menurut Walton, Indonesia juga sama besar peluangnya dengan negara lain untuk memanfaatkan kemajuan teknologi informasi ini.
“Indonesia boleh dibilang luar biasa, dari perkembangan startup, berikut segmen dan sektor industrinya,” sebut Walton.
Walton berpendapat, tantangan yang sebelumnya banyak menahan laju startup adalah infrastruktur yang mahal. Dari pemahaman ini, kata dia, AWS memberikan alternatif solusi dalam layanan-layanannya yang ibarat kata bisa dibeli dari skala “ketengan” hingga besar.
“Anda hanya perlu membayar yang dipakai. Kalau sukses dan bisa membesar, gampang saja juga untuk menambah kapasitas (dari layanan kami),” kata Walton.
Namun, lanjut Walton, ada sejumlah tantangan yang perlu juga segera mendapat solusi dari Indonesia untuk potensi yang ada dapat berkembang optimal.
Meski belum membuka kantor perwakilan di Indonesia, ujar dia, AWS juga terus berkomunikasi dengan berbagai otoritas negara tentang perkembangan teknologi informasi yang mereka garap.
“Kami punya banyak konsumen di Indonesia dan bisnisnya pun cepat tumbuh. Ada banyak jenis. (Namun), startup memang lebih terbuka soal penggunaan teknologi seperti (yang kami kembangkan) ini,” imbuh Walton.
Harus diakui, kata Walton, AWS di Indonesia baru dikenal sebatas layanan penyimpanan dan server berbasis cloud. Padahal, layanan AWS bukan hanya itu.
Teknologi yang membuat berbagai peranti menjadi cerdas laiknya asisten pribadi pun sudah digarap AWS. Bedanya, AWS memungkinkan alat apa saja yang bisa tersambung ke jaringan internet berbasis cloud menjadi secerdas yang dimungkinkan algoritma AI, ML, dan DL pada saat ini.
Seperti kata Jassy, target AWS adalah mendorong makin banyak munculnya aplikasi cerdas dari para developer, mereka yang bahkan tak punya latar belakang AI, ML, dan DL. Di balik layanan AWS, banyak manusia juga berbagi kontribusi menjaga produk yang dihasilkan tak melanggar batas keamanan dan etis.Domino 99
Di sini, fungsi manusia untuk memastikan aplikasi tak malah membahayakan atau mencelakakan tetap pegang peranan sejak dari perancangan. Atau, merujuk Leonhard, fungsi kurasi yang memastikan kualitas dan keunikan produk adalah posisi tak tergantikan dari manusia, dengan teknologi adalah alat bantu yang perkembangannya tak terhindarkan.
Masih merasa terancam atau malah tertantang?
KOMPAS.com—“Dengan bantuan mesin dan 170 pekerja, per hari kami menghasilkan 66.000 pon (sekitar 30.000 kg) kacang mede, sementara dulu hanya 2.000 pon (sekitar 907 kg) saat dikerjakan manual oleh 2.000 orang."Agen Bandar Q
Parafrase tersebut adalah salah satu kutipan dari video dan artikel di situs Wall Street Journal (WSJ) tentang penggunaan mesin dan pengaruhnya bagi industri.
WSJ memulai sajian kontennya dari kesibukan pekerja di India mengupas biji mede. Detail.
Gambar lalu beralih ke industri serupa di Vietnam. Bedanya, di negara ini proses produksi lebih banyak mengandalkan mesin. Hasilnya berlipat kali.
Tenaga manusia di industri mede Vietnam hanya untuk fungsi pengawasan dan penanganan gangguan. Itu pun beberapa orang saja yang diperlukan untuk skala berlipat kali industri serupa di India.
Pada hari ini, tutur WSJ, Vietnam sudah menggusur India sebagai pusat kacang mede dunia.
Ilustrasi robot yang menggantikan fungsi manusia.
Mesin cenderung lebih presisi dalam pekerjaannya. Pekerjaan berulang pun minim kesalahan. Memilah kualitas produk pun tak mustahil dilakukan mesin.
Penggunaan mesin yang bisa menggantikan kerja manusia tak hanya terjadi di industri seperti cerita WSJ di atas. Hampir semua lini industri memungkinkan penggunaan mesin—dari sederhana sampai cerdas—untuk pekerjaan yang sebelumnya dipegang manusia.
Teknologi cerdas makin mengemuka sejalan dengan terus berkembangnya algoritma kecerdasan buatan ( artificial intelligence atau AI). Serasa belum cukup, teknologi informasi pun mengembangkan AI lebih lanjut ke ranah machine learning (ML) dan belakangan deep learning (DL).
Intinya, semua aktivitas yang selama ini dikerjakan manusia—manual pakai tangan atau mekanik dengan bantuan mesin—dipelajari lalu dikembangkan dan direplikasi dengan ML dan DL tersebut. Peralatan-peralatan dibuat bisa menggantikan manusia dengan benaman peranti lunak cerdas.
Salah satu contoh terkini, urusan menyalakan dan menghidupkan lampu sudah bisa dijalankan dengan bantuan sebuah speaker pintar. Speaker! Produk Google, misalnya, telah beredar di pasaran.
Seperti dalam film-film fiksi ilmiah, teknologi informasi saat ini sudah bisa mewujudkan peranti seperti speaker itu tadi yang mampu bercakap-cakap dan menjalankan berbagai perintah laiknya asisten kita.
Pertanyaan yang lalu mengemuka, di mana peran manusia pada masa mendatang? Atau, apakah pekerjaan manusia akan benar-benar tergantikan oleh mesin dan teknologi informasi?
“Saya percaya, kreativitas manusia tak akan benar-benar terkejar teknologi. Jadi, kemajuan teknologi ini semestinya (hanya) membuat manusia makin kreatif, tak lagi semata mengerjakan pekerjaan rutin,” ujar VP of Machine Learning Amazon Web Services ( AWS) Swami Sivasubramanian, dalam sesi wawancara khusus dengan peliput dari Indonesia, di Las Vegas, Amerika Serikat.
Sejumlah kekhawatiran mengenai kehadiran teknologi yang memungkinkan menggantikan peran manusia sudah beberapa kali muncul. Bahkan futurist seperti Gerd Leonhard sampai khusus menulis buku berjudul Technology vs Humanisme, sebagai respons atas menguatnya kekhawatiran tersebut.
Seperti halnya Swami, Leonhard juga menyebutkan bahwa area kerja manusia yang tak akan pernah bisa digantikan mesin adalah yang berkaitan dengan kreativitas dan hal-hal manusiawi. Hal-hal manusiawi itu, sebut Leonhard, mencakup pula soal intuisi, kurasi, pemilahan ide, etika, empati, dan emosi.
Untuk menguji apakah seseorang atau perusahaan akan mampu berhadapan dengan mesin atau tidak, Leonhard mengajukan sebuah pertanyaan sederhana. “Apa rencana Anda 5 tahun ke depan?” sebut dia, saat berbicara di Jakarta.
Kalau pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan rinci, ujar Leonhard, seseorang atau perusahaan itu harus khawatir soal masa depannya.
Kesiapan menghadapi lompatan teknologi
Forum " AWS re: Invent 2017" makin menguatkan prediksi Leonhard soal lompatan teknologi, terutama dalam konteks komputasi. Leonhard menyebut lompatan teknologi dalam 20 tahun ini akan jauh melampaui capaian 300 tahun terakhir.
AWS, anak perusahaan Amazon.com, kembali meluncurkan sejumlah layanan baru di AWS re: Invent 2017. Fokusnya adalah memungkinkan kemunculan aplikasi dan produk berbasis machine learning dan deep learning makin cepat terjadi.
Lebih dulu dikenal sebagai perusahaan penyedia layanan penyimpanan komputasi awan (cloud)—penyimpanan data yang tak lagi mengharuskan pembelian atau penyewaan server fisik oleh pemilik atau pengguna aplikasi—AWS sekarang justru makin menguatkan layanannya pada machine learning dan deep learning.
CEO AWS Andy Jassy dalam pidato kuncinya di ajang AWS re: Invent 2017 menegaskan bahwa perusahaannya sekarang bertujuan membantu setiap orang dan atau perusahaan untuk makin mudah dan cepat membuat produk berbasis machine learning dan deep learning.
“Tidak semua perusahaan punya pakar machine learning. Mempelajarinya dari awal juga tidak mudah. Prosesnya pun kompleks dan butuh banyak skill. Kami ingin menjadi solusi, dengan memungkinkan para developer mengerjakan aplikasi tanpa memusingkan apa yang ada di balik machine learning,” papar Jassy, di Las Vegas, Amerika Serikat.
Menurut Swami, adaptasi memang dibutuhkan. Perusahaan media, misalnya, harus diakui sebagai yang paling terdampak saat ini dengan lonjakan kemajuan di bidang teknologi informasi. Persaingan yang dihadapi media tak lagi dengan sesama media tetapi juga perusahaan teknologi informasi.
“Tak ada kata lain selain adaptasi. Tapi percayalah, kreativitas manusia itu tidak terbatas,” ujar Swami membesarkan hati, saat berbincang dengan Kompas.com seusai wawancara khusus dengan delegasi peliput dari Indonesia.
Sebelumnya, dalam wawancara, Swami bercerita tentang polah putrinya menyikapi sebuah isu, sebagai contoh betapa kreativitas manusia adalah kunci dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi saat ini.
“Tak ada yang bisa membayangkan mesin punya reaksi dan pemikiran seperti cara anak saya ketika berbincang spontan dengan saya,” ujar Swami.
Adapun produk-produk yang diluncurkan AWS sampai hajatan tahunannya yang keenam itu meliputi layanan (services) dari infrastruktur seperti framework dan server, sampai wahana pembelajaran “instan” bagi para developoer mempelajari machine learning yaitu AWS DeepLens.
Di antara kedua “kutub” tersebut, AWS juga menyediakan berbagai “perantara”, dari penyimpanan hingga pengelolaan. Semua produk AWS yang—tentu saja—berbasis cloud, memungkinkan setiap orang menyewa dalam ukuran kecil sampai sangat besar, membayar tagihan biaya sesuai pemakaian saja, serta menyesuaikan kapasitas pemakaian sewaktu-waktu.
Dengan layanan cloud, klaim AWS, orang tak perlu selalu membeli mahal fasilitas fisik yang memiliki kapasitas tertentu untuk mulai membangun aplikasi. Kapasitas disebut sebagai salah satu kelemahan dari fasilitas fisik.
Bisa jadi suatu alat memiliki kapasitas besar sementara kebutuhan penggunaannya masih kecil. Sebaliknya, kapasitas alat yang terbatas juga rentan butuh pembaruan terlalu cepat ketika aplikasinya ternyata melejit dan banyak dipakai konsumen.
Prospek Indonesia
Sebelumnya, Head of Customer Asia Pasific AWS Nick Walton mengatakan, visi AWS sejak berdiri pada 2006 adalah untuk melahirkan perusahaan-perusahaan teknologi dan startup laiknya generasi baru dari Facebook, Amazon, atau airbnb.
Menurut Walton, Indonesia juga sama besar peluangnya dengan negara lain untuk memanfaatkan kemajuan teknologi informasi ini.
“Indonesia boleh dibilang luar biasa, dari perkembangan startup, berikut segmen dan sektor industrinya,” sebut Walton.
Walton berpendapat, tantangan yang sebelumnya banyak menahan laju startup adalah infrastruktur yang mahal. Dari pemahaman ini, kata dia, AWS memberikan alternatif solusi dalam layanan-layanannya yang ibarat kata bisa dibeli dari skala “ketengan” hingga besar.
“Anda hanya perlu membayar yang dipakai. Kalau sukses dan bisa membesar, gampang saja juga untuk menambah kapasitas (dari layanan kami),” kata Walton.
Namun, lanjut Walton, ada sejumlah tantangan yang perlu juga segera mendapat solusi dari Indonesia untuk potensi yang ada dapat berkembang optimal.
Meski belum membuka kantor perwakilan di Indonesia, ujar dia, AWS juga terus berkomunikasi dengan berbagai otoritas negara tentang perkembangan teknologi informasi yang mereka garap.
“Kami punya banyak konsumen di Indonesia dan bisnisnya pun cepat tumbuh. Ada banyak jenis. (Namun), startup memang lebih terbuka soal penggunaan teknologi seperti (yang kami kembangkan) ini,” imbuh Walton.
Harus diakui, kata Walton, AWS di Indonesia baru dikenal sebatas layanan penyimpanan dan server berbasis cloud. Padahal, layanan AWS bukan hanya itu.
Teknologi yang membuat berbagai peranti menjadi cerdas laiknya asisten pribadi pun sudah digarap AWS. Bedanya, AWS memungkinkan alat apa saja yang bisa tersambung ke jaringan internet berbasis cloud menjadi secerdas yang dimungkinkan algoritma AI, ML, dan DL pada saat ini.
Seperti kata Jassy, target AWS adalah mendorong makin banyak munculnya aplikasi cerdas dari para developer, mereka yang bahkan tak punya latar belakang AI, ML, dan DL. Di balik layanan AWS, banyak manusia juga berbagi kontribusi menjaga produk yang dihasilkan tak melanggar batas keamanan dan etis.Domino 99
Di sini, fungsi manusia untuk memastikan aplikasi tak malah membahayakan atau mencelakakan tetap pegang peranan sejak dari perancangan. Atau, merujuk Leonhard, fungsi kurasi yang memastikan kualitas dan keunikan produk adalah posisi tak tergantikan dari manusia, dengan teknologi adalah alat bantu yang perkembangannya tak terhindarkan.
Masih merasa terancam atau malah tertantang?
Demikianlah Artikel Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia?
Sekianlah artikel Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia? kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Teknologi Cerdas, Ancaman atau Tantangan buat Manusia? dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/12/teknologi-cerdas-ancaman-atau-tantangan.html