Otoriter yang Bergeser
Otoriter yang Bergeser
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Otoriter yang Bergeser telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Otoriter yang Bergeser
link : Otoriter yang Bergeser
Judul : Otoriter yang Bergeser
link : Otoriter yang Bergeser
Motobalapan | Berita Vlova - Metrotvnews.com, Jakarta: Satu dekade setelah proklamasi kemerdekaan, percobaan demokrasi di Indonesia dinyatakan gagal. Korupsi merajalela, negara kesatuan terancam, masalah ekonomi kian menjadi, serta tak terpenuhinya target revolusi.
Sepanjang 1950-1957, Indonesia dilanda pusing tujuh keliling. Musababnya, tidak tiba-tiba. Watak Belanda dan Jepang yang mewarisi gaya pemerintahan otoriter, ditengarai kadung menancap di kepala rakyat.
Demokrasi, masih menjadi barang asing.
Sisi lain
Kesepakatan untuk berdemokrasi bukan sembarang. Oleh para pendiri bangsa, ia dinilai sebagai jawaban paling pas dalam konteks keindonesiaan.
Setidaknya, demokrasi akan mampu menjamin hak dan kewajiban yang setara dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.
Baca: [Fokus] Siapa Indonesia?
Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008) menyebut, tak ada yang salah dari demokrasi kala itu. Hanya saja, oleh beberapa kalangan, demokrasi tidak dipahami secara benar dan semestinya.
"Para politikus di Jakarta, walaupun mengaku mengusung cita-cita demokrasi, kebanyakan adalah kaum elite dan merasa sebagai pengikut suatu budaya perkotaan baru yang lebih unggul dari pada budaya-budaya kedaerahan," tulis Ricklefs.
Beruntung, gejala itu tak mengidap lama. Di beberapa periode selanjutnya, demokrasi mulai bisa berjalan dan makin menggairahkan keterlibatan rakyat dalam bernegara. Meskipun, 'candu' otoriterianisme itu masih ada.
Dari sisi pengalaman kepemimpinan, misalnya, demokrasi di Indonesia pernah dilalui dua rentang gaya yang berbeda. Demokrasi terpimpin ala Soekarno, dan demokrasi partneralistik Soeharto. Keduanya itu, pada faktanya tak bisa lepas dari corak pemerintahan yang otoriter.
Meski untuk yang satu ini, rezim Orde Baru lebih banyak mendapatkan sorotan.
Setelah Reformasi 1998, demokrasi di Indonesia kian membaik. Kepemimpinan otoriter, yang sudah digarisbawahi tebal-tebal tersebut sudah dirasa amat sulit untuk muncul kembali. Namun siapa nyana, demokrasi malah memiliki masalah dari sisi lainnya.
Ialah ihwal keindonesiaan, yang harusnya bisa diperkuat dengan sikap toleransi, makin ke sini, kian mendapatkan tantangan.
"Di tingkat lokal terjadi penguatan demokrasi dan hukum seiring diberlakukannya desentralisasi, namun terdapat pula aksi yang merusak toleransi dan keadilan," tulis Ricklefs, masih dalam buku yang sama.
Sebutan intoleransi makin akrab di telinga. Keberagaman dan perbedaan, kerap dimunculkan beberapa kelompok sebagai sebuah masalah.
Demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat, tak jarang pula dimaknai sebagai paham yang menjadikan mayoritas sebagai tolok ukur.
Baca: [Fokus] Hijab Demokrasi Kita
Jika sudah seperti ini, peneliti bidang sosial-politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Muddzakir bilang, istilah otoriter bisa sangat mungkin berpindah tangan.
"Yang dulunya otoritarianisme di negara, sekarang di masyarakat sipil, sementara masyarakat sipil makin beringas," kata Amin Muddzakir, di Jakarta Pusat, Jumat 4 Agustus 2017.
Sepanjang 1950-1957, Indonesia dilanda pusing tujuh keliling. Musababnya, tidak tiba-tiba. Watak Belanda dan Jepang yang mewarisi gaya pemerintahan otoriter, ditengarai kadung menancap di kepala rakyat.
Demokrasi, masih menjadi barang asing.
Sisi lain
Kesepakatan untuk berdemokrasi bukan sembarang. Oleh para pendiri bangsa, ia dinilai sebagai jawaban paling pas dalam konteks keindonesiaan.
Setidaknya, demokrasi akan mampu menjamin hak dan kewajiban yang setara dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.
Baca: [Fokus] Siapa Indonesia?
Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008) menyebut, tak ada yang salah dari demokrasi kala itu. Hanya saja, oleh beberapa kalangan, demokrasi tidak dipahami secara benar dan semestinya.
"Para politikus di Jakarta, walaupun mengaku mengusung cita-cita demokrasi, kebanyakan adalah kaum elite dan merasa sebagai pengikut suatu budaya perkotaan baru yang lebih unggul dari pada budaya-budaya kedaerahan," tulis Ricklefs.
Beruntung, gejala itu tak mengidap lama. Di beberapa periode selanjutnya, demokrasi mulai bisa berjalan dan makin menggairahkan keterlibatan rakyat dalam bernegara. Meskipun, 'candu' otoriterianisme itu masih ada.
Dari sisi pengalaman kepemimpinan, misalnya, demokrasi di Indonesia pernah dilalui dua rentang gaya yang berbeda. Demokrasi terpimpin ala Soekarno, dan demokrasi partneralistik Soeharto. Keduanya itu, pada faktanya tak bisa lepas dari corak pemerintahan yang otoriter.
Meski untuk yang satu ini, rezim Orde Baru lebih banyak mendapatkan sorotan.
Setelah Reformasi 1998, demokrasi di Indonesia kian membaik. Kepemimpinan otoriter, yang sudah digarisbawahi tebal-tebal tersebut sudah dirasa amat sulit untuk muncul kembali. Namun siapa nyana, demokrasi malah memiliki masalah dari sisi lainnya.
Ialah ihwal keindonesiaan, yang harusnya bisa diperkuat dengan sikap toleransi, makin ke sini, kian mendapatkan tantangan.
"Di tingkat lokal terjadi penguatan demokrasi dan hukum seiring diberlakukannya desentralisasi, namun terdapat pula aksi yang merusak toleransi dan keadilan," tulis Ricklefs, masih dalam buku yang sama.
Sebutan intoleransi makin akrab di telinga. Keberagaman dan perbedaan, kerap dimunculkan beberapa kelompok sebagai sebuah masalah.
Demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat, tak jarang pula dimaknai sebagai paham yang menjadikan mayoritas sebagai tolok ukur.
Baca: [Fokus] Hijab Demokrasi Kita
Jika sudah seperti ini, peneliti bidang sosial-politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Muddzakir bilang, istilah otoriter bisa sangat mungkin berpindah tangan.
"Yang dulunya otoritarianisme di negara, sekarang di masyarakat sipil, sementara masyarakat sipil makin beringas," kata Amin Muddzakir, di Jakarta Pusat, Jumat 4 Agustus 2017.
Amin mencontohkan respons sebagian masyarakat terhadap penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Perppu itu, kata Amin, sebenarnya bisa dibaca sebagai instrumen penting untuk mengembalikan negara di posisi yang seharusnya. Sebab, aturan sebelumnya tidak bisa mengakomodir sikap tegas pada organisasi menyimpang, sebagai salah satu akar dari intoleransi.
"Perppu ini jadi justifikasi yang memiliki legitimasi, mengembalikan secara perlahan bandul ke negara yang lebih kuat," kata dia.
Baca: [Fokus] Kritik Demokrasi Jokowi
Mob
Sayangnya, kepentingan yang lebih umum itu, tak jarang dimanfaatkan sebagian kelompok untuk keperluan politik sesaat.
Baru-baru ini, misalnya, pidato internal Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Victor Laiskodat di Nusa Tenggara Timur pada 1 Agustus 2017 dianggap bermasalah. Viktor disebut menyinggung dukungan partai politik tertentu terhadap aksi penolakan Perppu yang dilakukan sejumlah ormas.
"Semua partai mengaku pro NKRI, tapi kok ada pihak-pihak yang mengaku Pancasilais justru keberatan dan membela mati-matian HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang jelas-jelas anti-Pancasila," kata Victor.
Mendengar itu, sejumlah orang tak terima lantas melaporkannya ke kepolisian. Victor dituduh menyebarkan ujaran kebencian, bahkan penistaan agama.
Polemik seperti ini, bukan barang baru di Indonesia. Bahkan, jika tak ada yang berpikir bijaksana, ujung-ujungnya berdampak buruk bagi masyarakat.
Benar anjuran Majelis Ulama Indonesia (MUI). Katanya, hari ini, publik tak usah terpancing atau turut mengeluarkan pernyataan yang bisa memperkeruh situasi.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi khawatir, tanggapan-tanggapan provokatif atas polemik itu bisa mengadu domba masyarakat.
"Dikhawatirkan mengganggu harmoni kehidupan antarumat beragama yang sudah terbangun dengan baik, rukun, aman, dan damai," kata Zainut, Senin 7 Agustus 2017.
Biar saja hukum yang menyelesaikan. Jangan sampai, publik dilibatkan dalam praktik mobokrasi, atau demokrasi berbasis pengerahan dan penggunaan kekuatan massa.
Satu pihak menggerakkan sekelompok massa yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Mobokrasi, juga cuma memberi kesempatan kepada massa menampilkan diri sebagai 'penentu hukum' dengan menggunakan jalan kekerasan.
Mobokrasi memberi bentuk nyata otoritarianisme baru. Praktik ini melemahkan institusi-institusi hukum dan demokrasi.
Bahkan, mobokrasi mampu memproduksi kekacauan. Selanjutnya, kekalutan yang timbul digunakan sebagai pembenar penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.
Begitulah, mobokrasi menjadi gua garba lahirnya otoritarianisme baru. Otoritarianisme massa, yang tidak lain adalah musuh sejati demokrasi.
Mobokrasi, kata Plato, tanda kemerosotan demokrasi.
Bagaimanapun, demokrasi di Indonesia hari ini telah tumbuh dan berkembang menuju tahapan yang makin sempurna. Demokrasi Indonesia sudah di titik a point of no return. Tahapan yang tidak mungkin mundur lagi ke era otoriter.
...
Sumber : http://ift.tt/2uinXGX
Perppu itu, kata Amin, sebenarnya bisa dibaca sebagai instrumen penting untuk mengembalikan negara di posisi yang seharusnya. Sebab, aturan sebelumnya tidak bisa mengakomodir sikap tegas pada organisasi menyimpang, sebagai salah satu akar dari intoleransi.
"Perppu ini jadi justifikasi yang memiliki legitimasi, mengembalikan secara perlahan bandul ke negara yang lebih kuat," kata dia.
Baca: [Fokus] Kritik Demokrasi Jokowi
Mob
Sayangnya, kepentingan yang lebih umum itu, tak jarang dimanfaatkan sebagian kelompok untuk keperluan politik sesaat.
Baru-baru ini, misalnya, pidato internal Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Victor Laiskodat di Nusa Tenggara Timur pada 1 Agustus 2017 dianggap bermasalah. Viktor disebut menyinggung dukungan partai politik tertentu terhadap aksi penolakan Perppu yang dilakukan sejumlah ormas.
"Semua partai mengaku pro NKRI, tapi kok ada pihak-pihak yang mengaku Pancasilais justru keberatan dan membela mati-matian HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang jelas-jelas anti-Pancasila," kata Victor.
Mendengar itu, sejumlah orang tak terima lantas melaporkannya ke kepolisian. Victor dituduh menyebarkan ujaran kebencian, bahkan penistaan agama.
Polemik seperti ini, bukan barang baru di Indonesia. Bahkan, jika tak ada yang berpikir bijaksana, ujung-ujungnya berdampak buruk bagi masyarakat.
Benar anjuran Majelis Ulama Indonesia (MUI). Katanya, hari ini, publik tak usah terpancing atau turut mengeluarkan pernyataan yang bisa memperkeruh situasi.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi khawatir, tanggapan-tanggapan provokatif atas polemik itu bisa mengadu domba masyarakat.
"Dikhawatirkan mengganggu harmoni kehidupan antarumat beragama yang sudah terbangun dengan baik, rukun, aman, dan damai," kata Zainut, Senin 7 Agustus 2017.
Biar saja hukum yang menyelesaikan. Jangan sampai, publik dilibatkan dalam praktik mobokrasi, atau demokrasi berbasis pengerahan dan penggunaan kekuatan massa.
Satu pihak menggerakkan sekelompok massa yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Mobokrasi, juga cuma memberi kesempatan kepada massa menampilkan diri sebagai 'penentu hukum' dengan menggunakan jalan kekerasan.
Mobokrasi memberi bentuk nyata otoritarianisme baru. Praktik ini melemahkan institusi-institusi hukum dan demokrasi.
Bahkan, mobokrasi mampu memproduksi kekacauan. Selanjutnya, kekalutan yang timbul digunakan sebagai pembenar penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.
Begitulah, mobokrasi menjadi gua garba lahirnya otoritarianisme baru. Otoritarianisme massa, yang tidak lain adalah musuh sejati demokrasi.
Mobokrasi, kata Plato, tanda kemerosotan demokrasi.
Bagaimanapun, demokrasi di Indonesia hari ini telah tumbuh dan berkembang menuju tahapan yang makin sempurna. Demokrasi Indonesia sudah di titik a point of no return. Tahapan yang tidak mungkin mundur lagi ke era otoriter.
...
Sumber : http://ift.tt/2uinXGX
Demikianlah Artikel Otoriter yang Bergeser
Sekianlah artikel Otoriter yang Bergeser kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Otoriter yang Bergeser dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/08/otoriter-yang-bergeser.html