Mengingat Khitah Ibu Kota
Mengingat Khitah Ibu Kota
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Mengingat Khitah Ibu Kota telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Mengingat Khitah Ibu Kota
link : Mengingat Khitah Ibu Kota
Judul : Mengingat Khitah Ibu Kota
link : Mengingat Khitah Ibu Kota
Motobalapan | Berita Vlova - Metrotvnews.com, Jakarta: Nyaris lima abad, Jakarta menjadi pusat sesegala. Sudah dari sono-nya, Belanda sendiri menyebut kota dengan nama tua Sunda Kelapa ini sebagai het magazijn van der selver producten, pusat penghidupan.
Pemujaan terhadap Batavia sebagai cikal bakal Jakarta, juga bertahan hingga abad 19. Malah, kian menjadi. Saking penting dan strategisnya peran kota ini, para koloni menyebutnya pula Queen of the East, ratu dari Timur.
Jakarta terus menjelma magnet dari tahun ke tahun. Mitos-mitos menjamur, semisal dipercaya sebagai gudang duit, hingga tanah penentu nasib baik. Belum lagi, penobatannya sebagai ibu kota negara sejak kali pertama Indonesia ada.
Maka, lengkaplah sudah. Peran dan tanggung jawab berat yang diemban wilayah dengan luasan cuma 740 km2 itu sesekali membuatnya tampak tertatih-tatih. Paling tidak, sekadar untuk memperbaiki nasibnya sendiri.
Bagi Jakarta, macet dan banjir, tentu tak kalah khas. Selekat ingatan tentang kerak telor, atau pun Monas.
Berbenah
Wacana pemindahan ibu kota negara kembali mencuat. Rencana pengalihan dari DKI Jakarta ke kota lain ini, tentu memiliki sisi positif dan negatif.
Baca: Pemindahan Ibu Kota Dimulai 2018
Yang menarik, kemunculan kembali gagasan yang sebenarnya sudah ada sejak awal 1940-an ini, tampak beriringan dengan momentum arus mudik dan balik Lebaran 2017. Sementara, sudah bukan rahasia lagi, Jakarta selalu dibikin pusing terkait upaya-upaya membendung gelombang urbanisasi.
Amat wajar, jika isu pemindahan ibu kota juga dipahami sebagai momentum membenahi Jakarta. Kota yang idealnya hanya menampung 7,5 juta jiwa, namun ternyata dihuni sebanyak 10,2 juta jiwa.
Diskominfotik DKI Jakarta melaporkan, setidaknya ada 65.000 orang baru yang datang ke Jakarta setiap usai Lebaran.
Pemindahan ibu kota memang tidak lantas mengurangi angka signifikan jumlah jiwa di dalamnya. Namun setidaknya, ketidak-merataan pembangunan yang menyebabkan Jakarta bak satu-satunya kota maju di Indonesia, sedikit demi sedikit bisa diurai.
Tujuan ini, persis sebagaimana dilontarkan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro. Pemerataan yang dimaksud, utamanya adalah menyudahi kesenjangan di Jawa dan luar Jawa. Itu makanya, beberapa kota di Pulau Kalimantan dan Sumatera yang dimasukkan dalam daftar pilihan.
Pemujaan terhadap Batavia sebagai cikal bakal Jakarta, juga bertahan hingga abad 19. Malah, kian menjadi. Saking penting dan strategisnya peran kota ini, para koloni menyebutnya pula Queen of the East, ratu dari Timur.
Jakarta terus menjelma magnet dari tahun ke tahun. Mitos-mitos menjamur, semisal dipercaya sebagai gudang duit, hingga tanah penentu nasib baik. Belum lagi, penobatannya sebagai ibu kota negara sejak kali pertama Indonesia ada.
Maka, lengkaplah sudah. Peran dan tanggung jawab berat yang diemban wilayah dengan luasan cuma 740 km2 itu sesekali membuatnya tampak tertatih-tatih. Paling tidak, sekadar untuk memperbaiki nasibnya sendiri.
Bagi Jakarta, macet dan banjir, tentu tak kalah khas. Selekat ingatan tentang kerak telor, atau pun Monas.
Berbenah
Wacana pemindahan ibu kota negara kembali mencuat. Rencana pengalihan dari DKI Jakarta ke kota lain ini, tentu memiliki sisi positif dan negatif.
Baca: Pemindahan Ibu Kota Dimulai 2018
Yang menarik, kemunculan kembali gagasan yang sebenarnya sudah ada sejak awal 1940-an ini, tampak beriringan dengan momentum arus mudik dan balik Lebaran 2017. Sementara, sudah bukan rahasia lagi, Jakarta selalu dibikin pusing terkait upaya-upaya membendung gelombang urbanisasi.
Amat wajar, jika isu pemindahan ibu kota juga dipahami sebagai momentum membenahi Jakarta. Kota yang idealnya hanya menampung 7,5 juta jiwa, namun ternyata dihuni sebanyak 10,2 juta jiwa.
Diskominfotik DKI Jakarta melaporkan, setidaknya ada 65.000 orang baru yang datang ke Jakarta setiap usai Lebaran.
Pemindahan ibu kota memang tidak lantas mengurangi angka signifikan jumlah jiwa di dalamnya. Namun setidaknya, ketidak-merataan pembangunan yang menyebabkan Jakarta bak satu-satunya kota maju di Indonesia, sedikit demi sedikit bisa diurai.
Tujuan ini, persis sebagaimana dilontarkan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro. Pemerataan yang dimaksud, utamanya adalah menyudahi kesenjangan di Jawa dan luar Jawa. Itu makanya, beberapa kota di Pulau Kalimantan dan Sumatera yang dimasukkan dalam daftar pilihan.
Baca: Tiga Provinsi Alternatif Ibu Kota Negara
Fungsi
Memindahkan ibu kota negara, mestinya bukan perkara pertama dan luar biasa. Sejak 1920, wacana pemindahan ibu kota dari Batavia ke Bandung, Jawa Barat sudah muncul. Namun, urung.
Gagasan serupa juga ada di awal-awal Pemerintahan Indonesia. Pada 1946, bahkan ibu kota negara nyata-nyata pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Lantas, dua tahun berikutnya bergeser ke Bukittinggi, Sumatera Barat, lalu dipulangkan lagi ke kota semula.
Pemindahan ibu kota juga maklum terjadi di negara lain. Dengan alasan tertentu, langkah ini pernah ditempuh oleh Amerika Serikat yang memindahkan ibu kota negara dari New York ke Philadelphia, lalu ke Washington DC. Juga, Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, Kazakhstan dari Alma Ata ke Astana, Turki dari Istanbul ke Ankara, atau Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw.

Praktinya, masing-masing negara memiliki model pemindahan berbeda. Malaysia, misalnya, hanya memindahkan pusat pemerintahan. Sedangkan Brasil dan Myanmar benar-benar membangun kota baru untuk ibu kota negara.
Pun urgensi pemindahan ibu kota di Indonesia saat ini. Sebenarnya bisa ditakar dengan mengembalikan fungsi utama ibu kota sebagai pusat pemerintahan. Sebagaimana termaktub dalam UU No 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, maupun UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemisahan kedua fungsi pusat pemerintahan dan ekonomi ini, boleh saja belajar dari Australia ketika membedakan peran Sidney dan Canberra. Begitu pula, Malaysia yang memisahkan tanggung jawab Kuala Lumpur dan Putra Jaya.
Dengan begini, Jakarta berpeluang lebih manusiawi, gagasan pemerataan pembangunan tak lagi mimpi.
Memindahkan Jakarta memang susah. Tapi, memindahkan ibu kota negara mungkin-mungkin saja. Dan itu, dua hal berbeda.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="http://bit.ly/2uH4ro6; frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Fungsi
Memindahkan ibu kota negara, mestinya bukan perkara pertama dan luar biasa. Sejak 1920, wacana pemindahan ibu kota dari Batavia ke Bandung, Jawa Barat sudah muncul. Namun, urung.
Gagasan serupa juga ada di awal-awal Pemerintahan Indonesia. Pada 1946, bahkan ibu kota negara nyata-nyata pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Lantas, dua tahun berikutnya bergeser ke Bukittinggi, Sumatera Barat, lalu dipulangkan lagi ke kota semula.
Pemindahan ibu kota juga maklum terjadi di negara lain. Dengan alasan tertentu, langkah ini pernah ditempuh oleh Amerika Serikat yang memindahkan ibu kota negara dari New York ke Philadelphia, lalu ke Washington DC. Juga, Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, Kazakhstan dari Alma Ata ke Astana, Turki dari Istanbul ke Ankara, atau Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw.
Praktinya, masing-masing negara memiliki model pemindahan berbeda. Malaysia, misalnya, hanya memindahkan pusat pemerintahan. Sedangkan Brasil dan Myanmar benar-benar membangun kota baru untuk ibu kota negara.
Pun urgensi pemindahan ibu kota di Indonesia saat ini. Sebenarnya bisa ditakar dengan mengembalikan fungsi utama ibu kota sebagai pusat pemerintahan. Sebagaimana termaktub dalam UU No 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, maupun UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa Provinsi DKI Jakarta dengan kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan NKRI berdasarkan UUD 1945.
Pemisahan kedua fungsi pusat pemerintahan dan ekonomi ini, boleh saja belajar dari Australia ketika membedakan peran Sidney dan Canberra. Begitu pula, Malaysia yang memisahkan tanggung jawab Kuala Lumpur dan Putra Jaya.
Dengan begini, Jakarta berpeluang lebih manusiawi, gagasan pemerataan pembangunan tak lagi mimpi.
Memindahkan Jakarta memang susah. Tapi, memindahkan ibu kota negara mungkin-mungkin saja. Dan itu, dua hal berbeda.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="http://bit.ly/2uH4ro6; frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Demikianlah Artikel Mengingat Khitah Ibu Kota
Sekianlah artikel Mengingat Khitah Ibu Kota kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Mengingat Khitah Ibu Kota dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/07/mengingat-khitah-ibu-kota.html