Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat
Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat
link : Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat
Judul : Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat
link : Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat
Motobalapan | Berita Vlova - Metrotvnews.com, Jakarta: Pengamat Hukum Tata Negara, Satya Arinanto menilai penggunaan hak angket oleh DPR berdasarkan undang-undang legal. Tapi, bila angket menyasar lembaga tidak tepat.
Dia menjelaskan, dalam pasal 79 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) memberikan kewenangan DPR menggunakan hak angket kepada ekskutif ataupun pemerintah. Namun demikian, hak angket jangan ditafsirkan untuk dilakukan pada lembaga.
"Kalau secara undang-undang, iya (legal). Tapi kalau ditafsirkan begitu, nanti semua (lembaga) bisa diangket, yang melaksanakan undang-undang. Tapi saya tidak setuju, dia legal tapi tidak tepat," kata Satya dalam diskusi bertajuk "Nasib KPK Ditangan Pansus" yang digelar di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 8 Juli 2017.
Satya menyebut, penggunaan hak angket bukan pertama kali dilakukan DPR. Bahkan sejak zaman orde lama, orde baru hingga era reformasi. Namun, objeknya selalu pemerintah bukan lembaga independen seperti KPK.
"Selama ini diarahkan kepada pemerintah semua. Dari Bung Karno (Soekarno) sampai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," tambah dia.
Dia menjelaskan penggunaan hak angket digunakan dalam menyelediki lembaga yang melaksanakan undang-undang. Jika ditemukan unsur kesalahan atau hal yang bertentangan dengan undang-undang, DPR menindaklanjutinya dengan hak menyatakan pendapat yang dapat berujung pada pembubaran atau impeachment.
"Sifatnya kan rekomendasi saja, tetapi yang melaksanakan itu lembaga yang bersangkutan dan pemerintah. (Rekomendasinya) sebenarnya mengikat, cuma selama ini yang kena efek presiden," jelas Satya.
Saat dilakukan perumusan UU MD3 tahun 2014 lalu, Setya adalah satu tim ahli yang merumuskan. Ia bersama tim ahli waktu itu mengusulkan agar hak angket ditujukan kepada pemerintah saja.
Hal ini guna menghindari polemik ke depan. Namun, DPR meminta agar hak angket dapat diberlakukan lebih luas. "Waktu itu, angket itu usul DPR ditambah, tidak hanya meminta keterangan kepada pemerintah tetapi juga ditambah lembaga pelaksana undang-undang. Itu yang saya soroti dari awal karena yang melaksanakan undang-undang itu luas," pungkas dia.
Dia menjelaskan, dalam pasal 79 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) memberikan kewenangan DPR menggunakan hak angket kepada ekskutif ataupun pemerintah. Namun demikian, hak angket jangan ditafsirkan untuk dilakukan pada lembaga.
"Kalau secara undang-undang, iya (legal). Tapi kalau ditafsirkan begitu, nanti semua (lembaga) bisa diangket, yang melaksanakan undang-undang. Tapi saya tidak setuju, dia legal tapi tidak tepat," kata Satya dalam diskusi bertajuk "Nasib KPK Ditangan Pansus" yang digelar di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 8 Juli 2017.
Satya menyebut, penggunaan hak angket bukan pertama kali dilakukan DPR. Bahkan sejak zaman orde lama, orde baru hingga era reformasi. Namun, objeknya selalu pemerintah bukan lembaga independen seperti KPK.
"Selama ini diarahkan kepada pemerintah semua. Dari Bung Karno (Soekarno) sampai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," tambah dia.
Dia menjelaskan penggunaan hak angket digunakan dalam menyelediki lembaga yang melaksanakan undang-undang. Jika ditemukan unsur kesalahan atau hal yang bertentangan dengan undang-undang, DPR menindaklanjutinya dengan hak menyatakan pendapat yang dapat berujung pada pembubaran atau impeachment.
"Sifatnya kan rekomendasi saja, tetapi yang melaksanakan itu lembaga yang bersangkutan dan pemerintah. (Rekomendasinya) sebenarnya mengikat, cuma selama ini yang kena efek presiden," jelas Satya.
Saat dilakukan perumusan UU MD3 tahun 2014 lalu, Setya adalah satu tim ahli yang merumuskan. Ia bersama tim ahli waktu itu mengusulkan agar hak angket ditujukan kepada pemerintah saja.
Hal ini guna menghindari polemik ke depan. Namun, DPR meminta agar hak angket dapat diberlakukan lebih luas. "Waktu itu, angket itu usul DPR ditambah, tidak hanya meminta keterangan kepada pemerintah tetapi juga ditambah lembaga pelaksana undang-undang. Itu yang saya soroti dari awal karena yang melaksanakan undang-undang itu luas," pungkas dia.
Demikianlah Artikel Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat
Sekianlah artikel Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Angket KPK Dinilai Legal tapi tak Tepat dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/07/angket-kpk-dinilai-legal-tapi-tak-tepat.html