Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM

Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM - Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya. Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru Artikel Trending, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.

Judul : Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM

link : Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM

Motobalapan |

Ujaran kebencian yang diunggah Profesor Karna Wijaya terkait penyerangan Ade Armando pada 11 April, mengungkap fakta-fakta aneh di balik kehidupan Guru Besar UGM tersebut. Radikalisme kampus kembali jadi sorotan karena Karna Wijaya disebut-sebut anak didik dosen UGM Syahirul Alim yang dipenjarakan Orde Baru lantaran terlibat gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang ingin mendirikan negara berdasar Syariat Islam. Di sisi lain, istri Profesor Karna Wijaya, Titik Nurchasanah, juga ingin menumbangkan Jokowi lewat gerakan mahasiswa dan menghendaki Anies Baswedan jadi Presiden tanpa melalui Pemilu. Pertanyaan yang muncul kemudian, ada apa Profesor Karna Wijaya dengan NII, radikalisme kampus dan Anies Baswedan?

Jejak Radikalisme Kampus
Dalam catatan sejarah, lahirnya NII berawal dari gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) yang dipelopori Kartosoewirjo. Secara ideologis, Kartosoewirjo menginginkan Indonesia berlandaskan pada Syariat Islam. Meski gerakan NII telah ditumpas dan Kartosuwirjo telah dihukum mati (1962), gerakan NII kembali bangkit setelah pertemuan Situaksan di Bandung (1971).

Menurut Solahudin, pasca penangkapan Kartosuwirjo (1962), gerakan dilanjutkan oleh orang-orang DI yang modernis atau mengusung pendidikan ibadah yang bersih dari bid’ah. Mereka adalah kader-kader Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir di Yogyakarta dan Solo. Sejak itu, gerakan radikalisasi muncul kembali, termasuk di lingkungan kampus.

Dr Muhammad Wildan MA, Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Center for the Study Islam and Social Transformation (CISForm) mengakui, kampus di Yogyakarta dan Solo adalah daerah yang subur gerakan NII. Diawali beberapa mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga bergabung, kemudian diikuti oleh beberapa mahasiswa dari UII, UGM, dan IKIP (sekarang UNY). Karena banyaknya anggota NII di Yogyakarta, NII membuat struktur NII Yogyakarta tersendiri. Walaupun tidak sekuat di Yogyakarta, gerakan NII juga cukup mendapatkan pengikut di kampus UNS. Beberapa tokoh gerakan yang dikenal dengan kelompok usroh ini adalah Muchliansyah, Fihiruddin, Irfan Suryahardi dll.

Penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu bakar Ba'asyir (1979) membuat marah dan menimbulkan tindakan radikalisme yang dikenal dengan Teror Warman.Beberapa orang yang dianggap membocorkan gerakan NII akhirnya dibunuh oleh kelompok Warman, seperti Parmanto (wakil rektor UNS) dan Hasan Bauw (ketua Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga). Pada tahun yang sama (1979) gaji dosen dan karyawan IAIN Sunan Kalijaga dirampok oleh gerakan Warman ini. Perampokan dilakukan dengan doktrin fa’i karena NII sedang membutuhkan dana untuk operasional kegiatannya. Kelompok ini juga merencanakan merampok IKIP Malang, namun gagal.

Pada periode 1980-an, gerakan NII banyak berkembang di kampus terutama di Yogyakarta. Masjid Sudirman di sekitar wilayah Kolombo Yogyakarta dikenal sebagai pusat kegiatan mahasiswa Islam konservatif sekaligus kantor redaksi bulletin NII, Ar-Risalah dan Al-Ikhwan, sebuah bulletin yang secara provokatif resisten terhadap pemerintah.Tidak sedikit mahasiswa di IAIN, IKIP (sekarang UNY), dan UGM yang terpapar radikalisme. Buletin Ar-Risalah kemudian dibreidel oleh pemerintah otoriter Soeharto. Beberapa redaktur dipenjara seperti Irfan Suryahardi, Fajar Sidiq dll. Dalam beberapa sumber bahkan disebutkan bahwa seorang dosen senior UGM Syahirul Alim ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap terlibat dalam jaringan NII.

Gerakan anti Pancasila dan anti pemerintah kembali jadi sorotan ketika terjadi pengibaran bendera Hizbut Tahrir (HTI) di UIN Sunan Kalijaga pada 4 Maret 2018. Karena terbukti bertentangan dengan kebangsaan, HTI akhirnya dilarang oleh pemerintah pada 19 juli 2017. Oleh karena itu, berbagai bentuk kegiatan dan atribut HTI dilarang oleh pemerintah. Radikalisme kampus kembali jadi sorotan karena ada deklarasi ISIS di Wisma Syahida UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Agustus 2014. Kampus sebagai simbol kebebasan berekspresi digunakan oleh Forum Aktivis Syariat Islam (Faksi) untuk menyelenggarakan event dukungan terhadap kekhalifahan ISIS dan bahkan bait beberapa aktivis. Walaupun kegiatan ini tidak ada hubungannya dengan UIN, Universitas Islam Negeri tertua di Indonesia itu merasa kecolongan.

Radikalisme di kampus yang paling parah terjadi di Universitas Negeri Riau pada 2 Juni 2018. Tiga (3) alumni Fisip UNRI ditahan Densus 88 karena terbukti membuat bom yang direncanakan untuk meledakkan gedung DPR RI. Ditangkapnya 3 tersangka teroris di lingkungan kampus itu mengagetkan banyak pihak betapa rentannya kampus akan radikalisme. Yang mengejutkan, berdasar survei BNPT dan BIN (2017) di 20 perguruan tinggi (15 provinsi) terungkap bahwa 39% mahasiswa anti Pancasila dan demokrasi. Walaupun data tersebut masih perlu diklarifikasi lebih lanjut, hasil survei BNPT dan BIN (2017) bisa jadi indikasi adanya resistensi mahasiswa terhadap pemerintah.

Radikalisme Kampus di UGM
Jejak radikalisasi kampus UGM dimulai sejak awal tahun 80-an. Kala itu, pada 1982 Syahirul Alim, seorang dosen kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), diangkat menjadi pimpinan Darul Islam (DI) Jawa Tengah berdasar hasil pendekatan tokoh DI Yogyakarta, Fihiruddin atau Abu Jibril. Keberhasilan menyeret akademisi UGM Syahirul Alim dalam gerakan DI menandakan kelompok radikal NII mampu memengaruhi intelektual kampus.

Bukti lainnya, salah satu pelaku Bom Bali I adalah mantan mahasiswa Fakultas Biologi UGM, yakni Aris Sumarno alias Zulkarnaen. Aris Sumarno adalah salah satu kombatan Indonesia alumni Afganistan yang ikut bergabung dengan kelompok usroh Yogyakarta saat kuliah di UGM.

Lantas, apakah Profesor Karna Wijaya juga aktif dalam kelompok usroh Yogyakarta saat kuliah di UGM? Hal ini masih perlu ditelusur jejaknya. Yang pasti, Prof. Drs. Karna Wijaya (lahir 7 Desember 1963) telah mendapatkan gelar doktorandus dari Jurusan Kimia, FMIPA, UGM, pada tahun 1987. Kemudian Karna Wijaya menjabat sebagai Guru Besar FMIPA UGM sejak tahun 2008. Karna Wijaya mengajar di Jurusan Kimia, FMIPA, UGM tingkat S-1, S-2, dan S-3. Apakah Karna Wijaya aktif menyebarkan paham radikalisme NII Kartasuwrijo seperti dosen pendahulunya, patut untuk ditelusuri lebih dalam.

Namun bila menyimak postingan Karna Wijaya terkait penganiayaan Ade Armando, terdapat kejanggalan karena cenderung melecehkan Ade Armando. Padahal, Ade Armando juga satu profesi sesama dosen perguruan tinggi negeri. Dari konten yang diposting di media sosial, ada indikasi Karna Wijaya sepaham dengan kelompok radikalis intoleran yang memusuhi Ade Armando. Apalagi, istri Karna Wijaya (Titik Nuschasanah) juga memposting sikap resisten terhadap pemerintah. Dengan terang-terangan, Titik Nuschasanah menginginkan adanya people power untuk menjatuhkan Jokowi dan berharap Anies Baswedan langsung bisa menjadi Presiden tanpa melalui pemilu. Selain itu, Titik Nuschasanah juga gemar memposting seruan jihad dan video seruan perlawanan dari ustadz radikal.

Sikap aneh Karna Wijaya dan istrinya di media sosial itu jelas menimbulkan kegaduhan di tengah publik. Mereka makan dengan gaji dari anggaran negara, namun sikapnya cenderung resisten terhadap negara. Apalagi, Karna Wijaya sendiri juga gemar pamer foto-foto dirinya sedang menggunakan senjata api. Bahkan, Karna Wijaya juga memposting foto anaknya yang bergaya menggunakan senjata api. Gaya Karna Wijaya itu seolah-olah jadi simbolik ia merindukan gerakan DI/TII Kartosuwirjo.

Makanya, tak aneh, jika akademisi Universitas Gadjah Mada, Bagas Pujilaksono Widyakanigara Ph. D pernah menulis surat terbuka pada Presiden Jokowi agar memecat dosen yang terlibat radikalisme. Alasannya, kampus yang sering menjadi sarang gerakan radikalisme.

Menurut Bagas Pujilaksono, politik radikal di kampus jelas bertentangan dengan ruh perguruan tinggi yaitu nationality and freedom. Gerakan radikalisme di kampus tidak hanya HTI (meski sudah dibubarkan). Ada juga paham wahabi dan salafi yang ia nilai sebagai paham radikal.

 Mungkinkah rektorat UGM akan bersikap tegas pada perilaku aneh keluarga Profesor Karna Wijaya? Mari ditunggu langkah formil yang dilakukan Rektor UGM. Bila sikap Profesor Karna Wijaya hanya dianggap biasa saja, ini bisa jadi lonceng berbahaya bagi UGM; masyarakat bisa takut bila anaknya kuliah di UGM. Bukan begitu? [SUTRISNO BUDIHARTO]

 


Demikianlah Artikel Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM

Sekianlah artikel Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Menyoal Radikalisme NII di UGM dan Konstrovesi Keluarga Profesor Karna Wijaya: Menunggu Ketegasan Rektor UGM dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2022/04/menyoal-radikalisme-nii-di-ugm-dan.html

Subscribe to receive free email updates: