Narasi Islamphobia Sesat Rocky Gerung, Mulut Rusak Khalid Basalamah dan Rintih Tangis Korban Kelompok Intoleran di Indonesia
Judul : Narasi Islamphobia Sesat Rocky Gerung, Mulut Rusak Khalid Basalamah dan Rintih Tangis Korban Kelompok Intoleran di Indonesia
link : Narasi Islamphobia Sesat Rocky Gerung, Mulut Rusak Khalid Basalamah dan Rintih Tangis Korban Kelompok Intoleran di Indonesia
Pasca jatuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru, Indonesia menghadapi tantangan baru cukup pelik, yakni makin menguatnya fenomena intoleransi dan radikalisme dalam ruang-ruang sosial kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Ini bukan soal Islamphobia seperti yang dihembuskan Rocky Gerung. Ancaman menguatnya intoleransi dan radikalisme di Indonesia, sangat nyata dan dapat dilihat jejaknya dari narasi-narasi negatif intoleran yang bertebaran di media massa maupun media sosial, baik mengenai sentimen primordial keagamaan maupun aksi-aksi anarkhis yang menimbulkan korban jiwa.
Kasus intoleransi Ustadz Khalid Basalamah terhadap seni budaya wayang yang baru-baru ini viral, hanya contoh kecil dari sekian banyak narasi kekerasan verbal yang banyak disebarkan oarang-orang mengaku sebagai pembela agama. Kekerasan verbal intoleran itu bukan hanya berlatar agama saja, tapi juga sudah menyangakut soal politik. Sebelum gaduh soal wayang, ceramah Ustadz Khalid Basalamah juga pernah menimbulkan protes karena mengajak pengikutnya agar tak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya yang diperintahkan guru sekolah.
Kalau Rocky Gerung getol menuduh ada yang menghembuskan Islamphobia di Indonesia, boleh jadi dia memang tak paham kondisi real lapangan. Mungkin saja Rocky Gerung hanya sibuk membaca huruf-huruf mati di atas kertas dan tak mampu menghayati fakta-fakta konflik sosial yang terjadi nyata di tengah masyarakat. Bukan tak mungkin, akal sehat Rocky Gerung sudah rusak dibunuh oleh kebenciannya sendiri hingga tega menuding Jokowi memelihara Islamphobia tapi tanpa fakta yang jelas.
Kasus empirik di lapangan membuktikan, fenomena intoleransi berlatar agama di Indonesia bukan hanya sebatas pada kekerasan verbal, tapi banyak juga sikap intoleran yang melahirkan anarkhisme. Salah satu contohnya adalah penolakan FPI terhadap Ahmadiyah. Pada Minggu 6 Februari 2011, ratusan orang merusak rumah pengikut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. "Saat video penyerangan Cikeusik dilihat publik, orang di seluruh dunia terkejut dan ngeri melihat kebiadaban penyerang yang menendang dan mengayunkan parang pada tiga orang sampai tewas," kata Deputi Direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson [1].
Intoleransi berbasiskan isu agama juga dapat dilihat dalam kasus Tanjung Balai 29 Juli 2016, kasus Tolikara 17 Juli 2015, dan rangkaian demonstrasi terhadap Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) atas tuduhan penodaan agama menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017. Kasus Tanjung Balai 29 Juli 2016 bermula dari protes Ibu Meliana terhadap suara azan yang dinilai terlalu keras. Sayangnya, pasca protes itu malah terjadi pembakaran dan perusakan belasan wihara dan klenteng di daerah setempat. Kasus intoleran Tolikara 17 Juli 2015 juga berawal dari bunyi pengeras suara dari komunitas umat Islam namun melahirkan konflik antara kelompok Muslim dan Kristen yang menyebabkan terbakarnya tempat ibadah dan sejumlah toko. Yang membuat miris, intoleransi berlatar agama sudah dipakai menyerang kekuasaan politik menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017[2]. Kaum intoleran terang-terangan mengkafirkan Ahok dan bebas berteriak-eriak ingin membunuh Ahok.
Yang membuat publik terkejut adalah munculnya video tepuk anak soleh yang diajarkan pembina Pramuka di Yogyakarta pada Januari 2020 lalu [3]. Dalam video itu, seorang pembina Pramuka menyisipkan kalimat 'Islam Yes, Kafir No' pada pelatihan di SD Kota Yogyakarta. Kepala Dispora Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana menyatakan, tepuk bernuansa SARA itu tidak pernah diajarkan oleh pihak Kwartir Cabang Yogya. Namun, fakta membuktikan ada pembina dari kwartir Kabupaten Gunungkidul yang mengajarkan sikap intoleran pada anak-anak sekolah.
Jika ditelusur lebih dalam, di Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata sering mencul kasus intoleran. Menurut catatan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) DIY, sepanjang tahun 2018 saja ada 10 kasus intoleransi yang didominasi kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di DIY. Pada tahun 2015, ditemukan 23 kasus intoleransi, tahun 2016 sebanyak 9 kasus intoleranis, tahun 2017 sebanyak 9 kasus intoleransi. Menurut Koordinator ANBTI DIY Agnes Dwi Rusjiyati, munculnya kasus-kasus intoleransi tersebut disebabkan beberapa faktor. Salah satu faktornya, peran dari negara yang belum berfungsi secara penuh dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan aturan hidup dalam keberagaman. Ada juga faktor penegakan hukum yang belum berfungsi dengan baik. "Misalnya, adanya tekanan dari kelompok mayoritas yang akhirnya memengaruhi keputusan pengadilan," ujar Koordinator ANBTI DIY Agnes Dwi Rusjiyati [4].
Dari 10 kasus intoleransi di Yogyakarta pada tahun 2018, terdapat beragam latar belakang, ada konflik antar pemeluk agama dan ada juga konflik agama dengan budaya. Contohnya, penolakan pendirian tempat ibadah di Wonosari, penutupan tempat ibadah di Sleman, pembubaran bakti sosial di Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, penyerangan Gereja St Lidwina di Sleman. Ada juga penyerangan atau penolakan acara sedekah laut di Pantai Baru, Bantul, penyerangan di Pengadilan Negeri Bantul terkait dengan kasus pameran Wiji Tukul, hingga kasus pemotongan salib nisan warga Katholik di Kotagede.
Rangkaian contoh-contoh kasus di atas hanya bagian kecil dari fenomena intoleransi dan radikalisme yang muncul di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini. Di luar contoh kasus di atas, ada serangkaian intoleran yang lebih sadis lagi, yakni kasus terorisme yang mengoyak kemanusian, baik dari kasus Bom Bali hingga serangan teror ke tempat ibadah dan kantor polisi yang kerap muncul selama pasca reformasi 1998. Dengan kata lain, tudingan Rocky Gerung terhadap Jokowi yang memelihara Islamphobia sangat ngawur dan gegabah. Faktanya, Jokowi tetap baik-baik saja dengan umat Islam. Jokowi tetap akrab dengan pengikut Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya. Bahkan, Jokowi selalu masuk dalam tokoh muslim berpengaruh di dunia.
Munculnya kegaduhan berlatar isu agama dewasa ini, tak lepas dari menguatnya fenomena intoleransi dan radikalisme yang digerakkan kelompok tertentu saja. Makanya, salah besar jika Rocky Gerung menuding ada yang memelihara Islamphobia. Tak aneh juga jika aktivis 1998 Budiman Sudjatmiko menyebut nalar Rocky Gerung telah rusak terkait isu Islamphobia yang dihembuskannya. Secara umum, umat Islam di Indonesia tetap rukun dengan umat beragama lain dan tetap kompak menjaga Bhinneka Tunggal Ika warisan para pendiri bangsa. Yang selalu membuat gaduh dan sering mengeksploitasi isu agama dewasa ini, hanya kelompok pengikut Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir saja. Para pengikut Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir inilah yang membuat sejumlah negara di Timur Tangah sering berkonflik. Akibatnya, Ikhwanul Muslimin maupun Hizbut Tahrir dijadikan kelompok radikal yang terlarang di negara-negara Timur Tengah.
Jadi, bukan Islam yang menimbulkan kekhawatiran warga Indonesia dewasa ini, tapi sikap intoleran kaum puritan yang sering memancing keributan saja. Merekalah yang kerap mengganggu ketenangan warga. Pendek kata, tidak ada yang memelihara Islamphobia di Indonesia, yang terjadi adalah kelompok intoleran radikal yang agresif kerap memancing kegaduhan dengan membawa isu agama Islam. Para Nahdliyin sangat paham soal ini. Bahkan, pengikut NU ada yang gugur akibat terkena ledakan bom ketika berjaga di gereja yang sedang merayakan Natal. Bila kelompok intoleran ini dibiarkan, mereka bisa membahaykan persatuan dan kesatuan bangsa.
Yang jelas, mantan Kepala BNPT Drs. Ansyaad Mbai telah mengingatkan bahwa kelompok intoleran radikal di Indonesia kini sudah menyusuk ke berbagai lembaga negara. Sehingga, aksi kelompok intoleran radikal di Indonesia, bukan hanya melakukan operasional di lapangan dengan teror peledakan bom saja, tapi sudah bertransformasi dalam gerakan politik ke lembaga negara. Bukan tak mungkin, Pilpres 2024 nanti akan lebih panas dari Pilkada DKI Jakarta 2017 yang kental diwarnai politisasi agama.
Akhir kata, jangan sampai warga Indonesia mudah tertipu oleh narasi-narasi sesat seperti yang digelontorkan Rocky Gerung. Sebab, konflik sosial akibat menguatnya intoleransi dan radikalisme sudah menjadi ancaman nyata di Indonesia. Paling tidak, kepedihannya telah dirasakan pengikut Ahmadiyah yang mati dihajar kaum intoleran. Sudah meninggal pun, pengikut Ahmaduyah masih digebuki dan dinjak-injak. Semoga warga Ahmadiyah yang gugur jadi korban anarkhisme kaum intoleran, kini beristirahat dengan damai dan jangan biarkan lagi kelompok intoleran terus mencabik-cabik Bhinneka Tunggal Ika semau mereka sendiri. Jangan biarkan mulut rusak Khalid Basalamah dan kawan-kawannya bebas menebarkan intoleransi yang merusak keberagaman Indonesia. (Sutrisno Budiharto)
-----------------
Lampiran Kasus Intoleransi yang Bikin Miris:
1. Penolakan Acara Sedekah Laut: Sekelompok orang mengacak-acak properti acara sedekah laut yang digelar di Pantai Baru, Srandakan, Bantul pada Jumat (12/10/2018). Akibatnya, warga dan panitia pun ketakutan dan trauma akibat insiden itu . Dalam aksi perusakan itu, pihak kepolisian mengamankan 9 orang yang diduga menjadi dalang dalam perusakan acara sedekah laut. Menurut kesaksian warga, gerombolan orang tak dikenal itu meminta sedekah laut tak digelar lantaran syirik, musyrik dan bertentangan dengan agama. Sedekah laut sendiri merupakan tradisi yang digelar warga Jawa tiap tahunnya. Acara ini juga mampu meningkatkan kunjungan wisatawan sehingga berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan warga sekitar.
2. Pemotongan Salib: Beredarnya foto kayu nisan berbentuk salib yang dipotong oleh warga di Pemakaman Jambon Purbayan RT 53/13, Kota Gede, Yogyakarta menjadi perbincangan warganet. Kayu nisan milik Albertus Slamet Sugihardi itu dibangun di dalam pemakaman muslim. Warga sekitar awalnya menyepakati jasad Albertus dimakamkan di pemakaman muslim dengan perjanjian tidak boleh ada atribut nonmuslim. Namun, ternyata pihak keluarga membuat nisan berbentuk salib sehingga dipotong oleh warga. Warga dan keluarga Albertus pun melakukan musyawarah guna menghindari kesalahpahaman. Akhirnya, keluarga Albertus pun sepakat berdamai dan tidak mempermasalahkan pemotongan nisan salib di makam Albertus.
3. Warga Nonmuslim Ditolak di Pedukuhan Karet, Bantul: Seorang seniman bernama Slamet Jumiarto beserta istri dan kedua anaknya ditolak untuk bermukim di RT 08, Pedukuhan Karet, Pleret, Bantul. Alasan penolakan Slamet tinggal di wilayah itu lantaran Slamet beragama Kristen. Dari hasil mediasi yang dilakukan, sebagian warga tak keberatan Slamet tinggal di wilayahnya. Namun Kepala Pedukuhan Karet bersikeras menolaknya dan hanya mengizinkan Slamet tinggal selama 6 bulan saja. Akhirnya, Slamet pun mengalah dan memilih pergi berpindah tempat tinggal. Menurut Kepala Pedukuhan Karet Iswanto, keputusan penolakan dilakukan berdasarkan pada Surat Keputusan nomor 03/POKGIAT/Krt?Plt/X/2015, dimana dalam surat keputusan itu tertulis bahwa pendatang baru harus beragama Islam, sama dengan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.Peraturan ini pun akhirnya dicabut pascapenolakan terhadap Slamet. Pencabutan aturan dilakukan pada 2 April 2019.
Demikianlah Artikel Narasi Islamphobia Sesat Rocky Gerung, Mulut Rusak Khalid Basalamah dan Rintih Tangis Korban Kelompok Intoleran di Indonesia
Anda sekarang membaca artikel Narasi Islamphobia Sesat Rocky Gerung, Mulut Rusak Khalid Basalamah dan Rintih Tangis Korban Kelompok Intoleran di Indonesia dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2022/02/narasi-islamphobia-sesat-rocky-gerung.html