Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri
Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Trending, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri
link : Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri
Judul : Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri
link : Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri
Motobalapan |
Pada bagia pertama " Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme" telah membahas Akar Kemunculan Salafisme. Pada bagian kedua ini, akan membahas soal Doktrin dan Identitas Diri. Berikut kutipan makalah Rofhani - Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya yang dipublikasikan dalam Religió: Jurnal Studi Agama-agama Volume 5, Nomor 2, September 2015.
Keberhasilan pengaruh ajaran Wahabi pada perkembangannya melahirkan berbagai macam varian gerakan Salafi, mulai dari yang bersifat radikal sampai yang moderat. Menurut pandangan Meijer, ada empat hal penyebab polarisasi varian tersebut.19 Pertama, ajaran untuk kembali ke sumber asli Islam, Alquran dan hadis. Prinsip dasar pendekatan ini adalah monoteisme yang ketat (tawhîd) dan ketaatan total terhadap perintah Nabi. Sebagai seorang yang paling berpengaruh di kalangan Salafisme modern, sebagaimana dipaparkan Stephane Lacroix, Albânî mengembangkan ajaran Islam sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibn ‘Abd al-Wahhâb. Albânî lebih peduli pada gerakan untuk kembali kepada ilmu daripada kekuasaan.20 Yang dikembangkan Albânî adalah hubungan antara guru-murid, pola yang memang telah dikenal sejak zaman Nabi. Dalam hubungan yang bersifat personal dan penuh ketaatan ini, Salafi tumbuh dan berkembang di berbagai penjuru dunia dan kemudian membentuk sebuah genealogi yang melahirkan gerakan-gerakan yang bergerak bebas dan tak bisa dikontrol oleh negara.
Kedua, interpretasi terhadap keberadaan orang kafir. Hal ini berkaitan dengan konsep al-walâ’ wa al-barâ’, doktrin yang mengatur hubungan antara komunitas beriman dan tidak beriman. Keharusan bersikap berbeda terhadap non-Wahabi menimbulkan sektarianisme dan eksklusivisme. Konsekuensi doktrin ini adalah munculnya in-group love (solidaritas, rasa cinta dan senasib) dan out-group hate (kebencian dan rasa permusuhan terhadap orang di luar), yang dapat memunculkan sentimen-sentimen. Selanjutnya, mereka membangun in-group-positivity dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka, serta membangun in-group-comparation dengan membandingkan betapa beruntungnya mereka dibanding orang-orang di luar kelompoknya. Selanjutnya, mereka membangun out-group hostility, kebencian terhadap orang di luar kelompok mereka.21 Doktrin al-walâ’ wa al-barâ’ dilaksanakan oleh Juhayman al-‘Utaybi (w. 1980) yang melawan penguasa Saudi dan mengatakan bahwa seorang Muslim harus membenci penguasa yang bekerjasama dengan orang kafir.
Ketiga, doktrin Wahabi yang mempengaruhi Salafisme menjadi radikal adalah keyakinan bahwa kaum Syi’ah adalah kelompok bidah. Wahabisme mengutuk Syiah karena dua alasan: (1) keyakinan bahwa seorang imam bebas dari kesalahan (ma’shûm) dan (2) penolakan atas legitimasi khalifah (Abû Bakr, ‘Umar dan Uthman) dan para sahabat Nabi terkait otentisitas hadis yang mereka keluarkan.22 Guido Steinberg mencari akar genealogis anti Syi’ah dengan meneliti tulisan Ibn ‘Abd al-Wahhâb, ar-rad ‘alâ ar-râfidhah, Sa’id Hawwa (1935-1989)—pemimpin Ikhwân al-Muslimîn Suriah, dan Muh}ammad Surûr Zayn al-‘Abidîn. Tulisan mereka kemudian menjadi senjata ideologis di tangan Salafi jihadis, Abû Mus’ab al-Zarqâwî di Irak.
Keempat, konsep dan praktik amar ma’rûf nahî munkar. Perdebatan soal ini telah lama berlangsung, mulai dari generasi Abbâsiyyah (750-1258) dan Ibn Taymiyah yang melahirkan konsep Jihad dan kemudian digunakan oleh gerakan Wahabi untuk menanamkan moral agama pada masyarakat. Oleh pemerintah Saudi, doktrin ini diwujudkan dalam bentuk praktik h}isbah23 tahun 1920 yang dilembagakan oleh polisi agama untuk menegakkan moralitas publik dan ketaatan tepat waktu dalam beribadah.24
Kelima, konsep al-h}âkimiyyah. Ini adalah doktrin kunci Sayyid Qut}b yang mengajarkan bahwa kedaulatan politik mutlak milik Tuhan dan satu-satunya hukum yang patut ditaati adalah hukum Islam (syariah). Al-h}âkimiyyah merupakan bagian yang tidak terpisah dari tauhid. Oleh karenanya, siapa pun yang menolak hukum Allah adalah kafir. Doktrin takfîr (sebagai konsekuensi al-h}âkimiyyah) mengilhami munculnya gerakan Islam radikal, seperti Jamâ’ah at-Takfîr wa al-H{ijrah.25
Doktrin Salafisme al-walâ’ wa al-barâ’, anti Syi’ah, amar ma’rûf nahî munkar dengan praktik h}isbah merupakan instrumen politik Arab Saudi untuk mempertahankan kekuasaan. Doktrin ini juga digunakan sebagai senjata aktivitas sosial dan revolusi Jamaah Islamiyah di Mesir. Doktrin ini digunakan untuk memperluas “ruang Islam” dan mengintimidasi lawan, menantang otoritas negara yang akhirnya melegitimasi pemberontakan terhadap penguasa pada tahun 1970-an dan 1980-an.26 Dalam ulasan Meijer, Salafi menghabiskan banyak waktu dan tenaga menghadapi perselisihan doktrin. Meski diakui bahwa ajaran Islam sudah jelas dan terang, namun tetap berpeluang untuk diinterpretasi. Apalagi, terdapat organisasi dengan jaringan informal yang membuka pintu perpecahan bagi gerakan-gerakan radikal di berbagai tempat, seperti di Afghanistan.27
Kaum Salafi melakukan pemberdayaan kepada pengikutnya dengan cara mengklaim diri sebagai kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah). Langkah pemurnian ajaran agama merupakan salah satu unsur pembeda di antara kaum Salafi, Ikhwân al-Muslimîn dan Hizb al-Tahrîr.
Mohamed Ali Adraoui menegaskan, kekuatan Salafisme terletak pada slogan “kami lebih baik dari kamu”, yang merupakan sense of superiority.28
Menurut Meijer, perasaan superioritas yang miliki oleh kamu Salafi ini memiliki enam dimensi.29 Pertama, ia tidak bertindak revolusioner. Salafisme berupaya untuk membangun keunggulan moral yang tinggi dengan membersihkan struktur, sebagaimana yang dilakukan oleh ideologi atas nama konservatisme. Kedua, pemberdayaan melalui penggalian ilmu yang bersumber dari pengetahuan agama Islam. Pencapaian ilmu melalui teks secara langsung yang berasal dari sumbernya, sebagaimana ilmu fikih. Ketiga, mendidik kepada pengikutnya untuk memiliki identitas kuat, berbeda dengan yang lain, sebagaimana Roy mengatakan bahwa kaum Salafi merupakan kaum neo-fundamentalisme. Keempat, mengajak pengikutnya supaya berbeda dengan umat Islam kebanyakan dengan meningkatkan keinginan universal yang berorientasi lebih luas. Kelima, meskipun tampak diam, Salafisme sebenarnya aktif. Gerakan Salafi memberdayakan pengikutnya dengan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam misi Salafi dan dakwah. Keenam, Salafi memiliki tantangan hebat terkait ambiguitas dan fleksibilitas. Meskipun mengklaim diri bersih dan tegas dalam doktrin dan usaha kerasnya untuk pemurnian, tetapi dalam praktiknya Salafisme bersikap lunak. Ambiguitas Salafi membolehkan pengikutnya untuk secara politis menjadi pendukung atau penentang penguasa.
Perwujudan diri Salafi sebagai jalan untuk memecahkan krisis identitas modern ditunjukkan oleh Terje Ostebo di tengah runtuhnya rezim Lenin, di mana banyak masyarakat yang mengalami disorientasi psikologis dan ideologis. Kaum Salafi memberikan jalan kepada para pemuda, dengan bahasa mereka, dengan menawarkan agen perubahan dan bertekad memperbaiki pengalaman masa lalu Islam menuju jalan hidup yang lebih tinggi: melawan tradisi lokal dan tidak menghiraukan generasi tua yang korup dan bermalas-malasan.30
Sementara, di tanah kelahirannya, Arab Saudi, kaum Salafi mampu mengontrol otoritas negara dan otoritas agama dengan melakukan kritik terhadap pandangan yang bertentangan dengan konsep tauhid. Dengan berpegang teguh pada doktrin yang kaku (rigid) tanpa memberikan ruang interpretasi bagi akal, kaum Salafi mampu mempertegas identitas dirinya dan melawan musuh internal maupun asing, yakni Barat.31
Pada perkembangannya, Salafisme memberdayakan keragaman kelompok dan individu untuk melawan konsep-konsep Barat. Hampir pada semua kasus di berbagai negara, misalnya Prancis, Mesir dan Yaman, identitas baru Salafi terlihat jelas dalam bentuk-bentuk lahiriah. Tidak cukup dengan doktrin, kelompok Salafisme menunjukkan identitas dirinya dengan mengenakan pakaian dan jenggot sebagai wujud nyata penerapan al-walâ’ wa al-barâ’ – yang membedakan antara “kami” dan “mereka.” Perbedaan itu ditunjukkan kaum Salafi di ruang publik dengan melakukan praktik ibadah dan cara yang berbeda. Muncullah para pemuda berjanggut (lih}yah), berpakaian jubah (jalabiyyah), sorban (‘imâmah), dan celana tanggung di atas mata kaki (izbâl). Sementara para perempuan mengenakan baju lebar berwarna hitam atau gelap dan cadar (niqâb). Pengikut Salafi tidak jarang menolak jenis pekerjaan tertentu, dan menghindari berkumpul dengan orang kafir. Hal ini menuntut manajemen perusahaan untuk menyusun waktu untuk salat lima waktu. Mereka juga menolak bentuk-bentuk tradisi dan budaya Barat, seperti festival musik, perayaan ulang tahun, bahkan peringatan maulid Nabi.32 Model, cara dan syarat (dalam pekerjaan) yang ditempuh oleh para Salafi ini disebabkan oleh klaim diri sebagai golongan yang selamat dan selalu mendapat pertolongan. Mereka menganggap dirinya paling baik dan selalu berusaha memurnikan ajaran Islam dengan berpegang pada tauhid. Contoh lebih ekstrem adalah pengharaman memakai ‘iqâl (ikat kepala dan hiasan kepala tradisional) ataupun mendengarkan musik tradisional yang itu dianggap tidak Islami. Sementara di Prancis, kaum Salafi mendominasi kota tertentu dan menolak tempat lain yang dipenuhi oleh orang-orang kafir.
Salafisme mengalami ambiguitas dan kebingungan berkaitan dengan identitas dan doktrinnya. Salafisme pada tingkat par excellence adalah fenomena modern dan merupakan hasil objektivasi agama yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apa agamaku?, mengapa ini penting bagi hidupku?, dan bagaimana keyakinanku dapat menuntun perilakuku? Menurut Meijer—sependapat dengan Adraoui34, Salafisme bisa merupakan fenomena post-modern. Kaum Salafi tidak tertarik pada akar budaya sendiri dan tanah orang tuanya. Mereka lebih memilih dinamika budaya Teluk seperti Dubai atau Abu Dhabi. Fenonema ini ironis: dari isi ekonomi mereka tetap terintegrasi ke dalam masyarakat Prancis, meskipun doktrin al-walâ’ wa al-barâ’ menolak kontak dengan non Muslim. Bagi mereka, hal itu bukanlah masalah selama masih loyal terhadap komunitas sendiri. Pada gilirannya, melalui celah inilah sebenarnya Salafi menjadi jiwa dengan budaya materialistis di masyarakat modern yang konsumtif.
Pertanyaan-pertanyaan yang mendasar di atas dialami oleh para Salafi, sebagaimana yang diceritakan oleh Ed Husain (anak muda warga negara Inggris keturunan India-Bangladesh) yang mengisahkan bahwa teman-teman perempuannya, pengikut kelompok Salafi, yang mengenakan jilbab dan niqâb dianggap munafik karena tidak mau mengucapkan salam kepada pria Muslim, padahal dengan orang-orang kafir (non-Muslim) mereka ngobrol dengan santai.35 Ini adalah satu contoh dari sekian banyak sikap ambiguitas para Salafi dalam melaksanakan doktrin-doktrinnya, terutama al-walâ’ wa al-barâ’. (BERSAMBUNG)
Pada bagia pertama " Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme" telah membahas Akar Kemunculan Salafisme. Pada bagian kedua ini, akan membahas soal Doktrin dan Identitas Diri. Berikut kutipan makalah Rofhani - Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya yang dipublikasikan dalam Religió: Jurnal Studi Agama-agama Volume 5, Nomor 2, September 2015.
ilustrasi @lemonde_pol |
Keberhasilan pengaruh ajaran Wahabi pada perkembangannya melahirkan berbagai macam varian gerakan Salafi, mulai dari yang bersifat radikal sampai yang moderat. Menurut pandangan Meijer, ada empat hal penyebab polarisasi varian tersebut.19 Pertama, ajaran untuk kembali ke sumber asli Islam, Alquran dan hadis. Prinsip dasar pendekatan ini adalah monoteisme yang ketat (tawhîd) dan ketaatan total terhadap perintah Nabi. Sebagai seorang yang paling berpengaruh di kalangan Salafisme modern, sebagaimana dipaparkan Stephane Lacroix, Albânî mengembangkan ajaran Islam sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibn ‘Abd al-Wahhâb. Albânî lebih peduli pada gerakan untuk kembali kepada ilmu daripada kekuasaan.20 Yang dikembangkan Albânî adalah hubungan antara guru-murid, pola yang memang telah dikenal sejak zaman Nabi. Dalam hubungan yang bersifat personal dan penuh ketaatan ini, Salafi tumbuh dan berkembang di berbagai penjuru dunia dan kemudian membentuk sebuah genealogi yang melahirkan gerakan-gerakan yang bergerak bebas dan tak bisa dikontrol oleh negara.
Kedua, interpretasi terhadap keberadaan orang kafir. Hal ini berkaitan dengan konsep al-walâ’ wa al-barâ’, doktrin yang mengatur hubungan antara komunitas beriman dan tidak beriman. Keharusan bersikap berbeda terhadap non-Wahabi menimbulkan sektarianisme dan eksklusivisme. Konsekuensi doktrin ini adalah munculnya in-group love (solidaritas, rasa cinta dan senasib) dan out-group hate (kebencian dan rasa permusuhan terhadap orang di luar), yang dapat memunculkan sentimen-sentimen. Selanjutnya, mereka membangun in-group-positivity dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka, serta membangun in-group-comparation dengan membandingkan betapa beruntungnya mereka dibanding orang-orang di luar kelompoknya. Selanjutnya, mereka membangun out-group hostility, kebencian terhadap orang di luar kelompok mereka.21 Doktrin al-walâ’ wa al-barâ’ dilaksanakan oleh Juhayman al-‘Utaybi (w. 1980) yang melawan penguasa Saudi dan mengatakan bahwa seorang Muslim harus membenci penguasa yang bekerjasama dengan orang kafir.
Ketiga, doktrin Wahabi yang mempengaruhi Salafisme menjadi radikal adalah keyakinan bahwa kaum Syi’ah adalah kelompok bidah. Wahabisme mengutuk Syiah karena dua alasan: (1) keyakinan bahwa seorang imam bebas dari kesalahan (ma’shûm) dan (2) penolakan atas legitimasi khalifah (Abû Bakr, ‘Umar dan Uthman) dan para sahabat Nabi terkait otentisitas hadis yang mereka keluarkan.22 Guido Steinberg mencari akar genealogis anti Syi’ah dengan meneliti tulisan Ibn ‘Abd al-Wahhâb, ar-rad ‘alâ ar-râfidhah, Sa’id Hawwa (1935-1989)—pemimpin Ikhwân al-Muslimîn Suriah, dan Muh}ammad Surûr Zayn al-‘Abidîn. Tulisan mereka kemudian menjadi senjata ideologis di tangan Salafi jihadis, Abû Mus’ab al-Zarqâwî di Irak.
Keempat, konsep dan praktik amar ma’rûf nahî munkar. Perdebatan soal ini telah lama berlangsung, mulai dari generasi Abbâsiyyah (750-1258) dan Ibn Taymiyah yang melahirkan konsep Jihad dan kemudian digunakan oleh gerakan Wahabi untuk menanamkan moral agama pada masyarakat. Oleh pemerintah Saudi, doktrin ini diwujudkan dalam bentuk praktik h}isbah23 tahun 1920 yang dilembagakan oleh polisi agama untuk menegakkan moralitas publik dan ketaatan tepat waktu dalam beribadah.24
Kelima, konsep al-h}âkimiyyah. Ini adalah doktrin kunci Sayyid Qut}b yang mengajarkan bahwa kedaulatan politik mutlak milik Tuhan dan satu-satunya hukum yang patut ditaati adalah hukum Islam (syariah). Al-h}âkimiyyah merupakan bagian yang tidak terpisah dari tauhid. Oleh karenanya, siapa pun yang menolak hukum Allah adalah kafir. Doktrin takfîr (sebagai konsekuensi al-h}âkimiyyah) mengilhami munculnya gerakan Islam radikal, seperti Jamâ’ah at-Takfîr wa al-H{ijrah.25
Doktrin Salafisme al-walâ’ wa al-barâ’, anti Syi’ah, amar ma’rûf nahî munkar dengan praktik h}isbah merupakan instrumen politik Arab Saudi untuk mempertahankan kekuasaan. Doktrin ini juga digunakan sebagai senjata aktivitas sosial dan revolusi Jamaah Islamiyah di Mesir. Doktrin ini digunakan untuk memperluas “ruang Islam” dan mengintimidasi lawan, menantang otoritas negara yang akhirnya melegitimasi pemberontakan terhadap penguasa pada tahun 1970-an dan 1980-an.26 Dalam ulasan Meijer, Salafi menghabiskan banyak waktu dan tenaga menghadapi perselisihan doktrin. Meski diakui bahwa ajaran Islam sudah jelas dan terang, namun tetap berpeluang untuk diinterpretasi. Apalagi, terdapat organisasi dengan jaringan informal yang membuka pintu perpecahan bagi gerakan-gerakan radikal di berbagai tempat, seperti di Afghanistan.27
Kaum Salafi melakukan pemberdayaan kepada pengikutnya dengan cara mengklaim diri sebagai kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah). Langkah pemurnian ajaran agama merupakan salah satu unsur pembeda di antara kaum Salafi, Ikhwân al-Muslimîn dan Hizb al-Tahrîr.
Mohamed Ali Adraoui menegaskan, kekuatan Salafisme terletak pada slogan “kami lebih baik dari kamu”, yang merupakan sense of superiority.28
Menurut Meijer, perasaan superioritas yang miliki oleh kamu Salafi ini memiliki enam dimensi.29 Pertama, ia tidak bertindak revolusioner. Salafisme berupaya untuk membangun keunggulan moral yang tinggi dengan membersihkan struktur, sebagaimana yang dilakukan oleh ideologi atas nama konservatisme. Kedua, pemberdayaan melalui penggalian ilmu yang bersumber dari pengetahuan agama Islam. Pencapaian ilmu melalui teks secara langsung yang berasal dari sumbernya, sebagaimana ilmu fikih. Ketiga, mendidik kepada pengikutnya untuk memiliki identitas kuat, berbeda dengan yang lain, sebagaimana Roy mengatakan bahwa kaum Salafi merupakan kaum neo-fundamentalisme. Keempat, mengajak pengikutnya supaya berbeda dengan umat Islam kebanyakan dengan meningkatkan keinginan universal yang berorientasi lebih luas. Kelima, meskipun tampak diam, Salafisme sebenarnya aktif. Gerakan Salafi memberdayakan pengikutnya dengan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam misi Salafi dan dakwah. Keenam, Salafi memiliki tantangan hebat terkait ambiguitas dan fleksibilitas. Meskipun mengklaim diri bersih dan tegas dalam doktrin dan usaha kerasnya untuk pemurnian, tetapi dalam praktiknya Salafisme bersikap lunak. Ambiguitas Salafi membolehkan pengikutnya untuk secara politis menjadi pendukung atau penentang penguasa.
Perwujudan diri Salafi sebagai jalan untuk memecahkan krisis identitas modern ditunjukkan oleh Terje Ostebo di tengah runtuhnya rezim Lenin, di mana banyak masyarakat yang mengalami disorientasi psikologis dan ideologis. Kaum Salafi memberikan jalan kepada para pemuda, dengan bahasa mereka, dengan menawarkan agen perubahan dan bertekad memperbaiki pengalaman masa lalu Islam menuju jalan hidup yang lebih tinggi: melawan tradisi lokal dan tidak menghiraukan generasi tua yang korup dan bermalas-malasan.30
Sementara, di tanah kelahirannya, Arab Saudi, kaum Salafi mampu mengontrol otoritas negara dan otoritas agama dengan melakukan kritik terhadap pandangan yang bertentangan dengan konsep tauhid. Dengan berpegang teguh pada doktrin yang kaku (rigid) tanpa memberikan ruang interpretasi bagi akal, kaum Salafi mampu mempertegas identitas dirinya dan melawan musuh internal maupun asing, yakni Barat.31
Pada perkembangannya, Salafisme memberdayakan keragaman kelompok dan individu untuk melawan konsep-konsep Barat. Hampir pada semua kasus di berbagai negara, misalnya Prancis, Mesir dan Yaman, identitas baru Salafi terlihat jelas dalam bentuk-bentuk lahiriah. Tidak cukup dengan doktrin, kelompok Salafisme menunjukkan identitas dirinya dengan mengenakan pakaian dan jenggot sebagai wujud nyata penerapan al-walâ’ wa al-barâ’ – yang membedakan antara “kami” dan “mereka.” Perbedaan itu ditunjukkan kaum Salafi di ruang publik dengan melakukan praktik ibadah dan cara yang berbeda. Muncullah para pemuda berjanggut (lih}yah), berpakaian jubah (jalabiyyah), sorban (‘imâmah), dan celana tanggung di atas mata kaki (izbâl). Sementara para perempuan mengenakan baju lebar berwarna hitam atau gelap dan cadar (niqâb). Pengikut Salafi tidak jarang menolak jenis pekerjaan tertentu, dan menghindari berkumpul dengan orang kafir. Hal ini menuntut manajemen perusahaan untuk menyusun waktu untuk salat lima waktu. Mereka juga menolak bentuk-bentuk tradisi dan budaya Barat, seperti festival musik, perayaan ulang tahun, bahkan peringatan maulid Nabi.32 Model, cara dan syarat (dalam pekerjaan) yang ditempuh oleh para Salafi ini disebabkan oleh klaim diri sebagai golongan yang selamat dan selalu mendapat pertolongan. Mereka menganggap dirinya paling baik dan selalu berusaha memurnikan ajaran Islam dengan berpegang pada tauhid. Contoh lebih ekstrem adalah pengharaman memakai ‘iqâl (ikat kepala dan hiasan kepala tradisional) ataupun mendengarkan musik tradisional yang itu dianggap tidak Islami. Sementara di Prancis, kaum Salafi mendominasi kota tertentu dan menolak tempat lain yang dipenuhi oleh orang-orang kafir.
Salafisme mengalami ambiguitas dan kebingungan berkaitan dengan identitas dan doktrinnya. Salafisme pada tingkat par excellence adalah fenomena modern dan merupakan hasil objektivasi agama yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apa agamaku?, mengapa ini penting bagi hidupku?, dan bagaimana keyakinanku dapat menuntun perilakuku? Menurut Meijer—sependapat dengan Adraoui34, Salafisme bisa merupakan fenomena post-modern. Kaum Salafi tidak tertarik pada akar budaya sendiri dan tanah orang tuanya. Mereka lebih memilih dinamika budaya Teluk seperti Dubai atau Abu Dhabi. Fenonema ini ironis: dari isi ekonomi mereka tetap terintegrasi ke dalam masyarakat Prancis, meskipun doktrin al-walâ’ wa al-barâ’ menolak kontak dengan non Muslim. Bagi mereka, hal itu bukanlah masalah selama masih loyal terhadap komunitas sendiri. Pada gilirannya, melalui celah inilah sebenarnya Salafi menjadi jiwa dengan budaya materialistis di masyarakat modern yang konsumtif.
Pertanyaan-pertanyaan yang mendasar di atas dialami oleh para Salafi, sebagaimana yang diceritakan oleh Ed Husain (anak muda warga negara Inggris keturunan India-Bangladesh) yang mengisahkan bahwa teman-teman perempuannya, pengikut kelompok Salafi, yang mengenakan jilbab dan niqâb dianggap munafik karena tidak mau mengucapkan salam kepada pria Muslim, padahal dengan orang-orang kafir (non-Muslim) mereka ngobrol dengan santai.35 Ini adalah satu contoh dari sekian banyak sikap ambiguitas para Salafi dalam melaksanakan doktrin-doktrinnya, terutama al-walâ’ wa al-barâ’. (BERSAMBUNG)
Demikianlah Artikel Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri
Sekianlah artikel Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme (2): Doktrin dan Identitas Diri dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2019/04/melacak-gerakan-radikal-islam-dari.html