Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi
Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Trending, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi
link : Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi
Judul : Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi
link : Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi
Motobalapan | Benarkah krisis Rohingya merupakan konflik agama antara Islam dengan Budha? Jawabnya, bukan soal agama yang menjadi akar konflik di Myanmar. Lantas, ada soal apa lagi yang menjadi pemicu konflik? Seperti apakah sejarah kehadiran Islam di Burma? Berikut beberapa nukilan informasi dari beberapa sumber.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di Myanmar ada kelompok Budha radikal, tapi akar konflik yang menimbulkannya bisa bersumber dari banyak faktor. Yang jelas, dalam sejarah kerajaan, kelompok Islam dan Budha di Myanmar pernah ada yang bersekutu, tapi ada pula yang pernah berkonflik akibat politik kekuasaan masa kerajaan. Sedang pada masa modern ini, tentunya ada banyak faktor lagi yang bisa mendorong timbulnya konflik mengingat sejarah Burma (Myanmar) sangat akrab dengan politik kekerasan. Jenderal Aung San (ayah kandung dari Aung San Suu Kyi), yang menjadi tokoh pejuang kemerdekaan Burma, juga terbunuh dalam aksi kekerasan.
Dan faktanya, dari beberapa kelompok muslim yang tinggal di Myanmar, tidak semuanya menjadi sasaran konflik kekerasan. Ini mengindikasikan bahwa konflik yang kini berkembang di Myanmar, bukan semata-mata soal agama. Lemahnya proses demokratisasi dan reformasi, masih kuatnya pengaruh militer, dan kegagalan membangun budaya multikultural, setidaknya punya pengaruh. Yang perlu dicatat, walau proses demokratisasi sudah berjalan di Myanmar, hal itu belum berhasil menampilkan presiden baru. Aung San Suu Kyi yang menjadi pemenang pemilu tidak bisa menjadi presiden karena terganjal aturan hukum setempat terkait anak kandungnya yang masih keturunan dari Inggris. Untuk itu, bila ingin memahami akar konflik di Myanmar, ada baiknya merunut sejarah konflik masa lalu di Myanmar, baik itu mengenai sejarah masuknya Islam, konflik kerajaan, konflik masa kolonial, hingga konflik masa kemerdekaan.
Sejarah Muslim dan Jejak Kolonial di Arakan
Menurut Prof. Imtiyaz Yusuf (Direktur Center for Buddhist-Muslim Understanding, Mahidol University, Thailand), sejarah kehadiran umat muslim Arakan di Myanmar sudah berakar jauh sejak zaman Kerajaan Arakan. Pada saat itu belum ada batas-batas negara sebagaimana sekarang. Perpindahan penduduk berlangsung bebas dari dan ke Chittagong di Bengal. Secara politik, Arakan berhubungan dengan Kerajaan Mrauk-U (1430-1785) yang menguasai banyak kawasan yang saat ini menjadi wilayah Bangladesh dan Myanmar. Pendirinya adalah Narameikhla Min Saw Mon, seorang Buddhis yang juga dikenal sebagai Suleiman Shaof dari Dinasi Mrauk-U Arakan.
Narameikhla menjadi raja pada 1404 namun kemudian terusir pada 1406. Ia tinggal di pengasingan di Bengal selama 24 tahun dan baru mampu merebut kembali takhtanya pada 1430 dengan dukungan militer dari Sultan Jalaluddin Muhammad Syah dari Kesultanan Bengal. Dari tahun 1430 hingga 1531, Mrauk-U menjadi wilayah protektorat Kesultanan Bengal sehingga raja Buddhis Arakan ini beserta para pejabat pengadilan dan pemimpin militernya memiliki gelar keislaman dari Kesultanan Bengal. Koin emas/dinar menjadi alat pembayaran yang sah di Arakan pada waktu itu. Raja Narameikhla mencetak koin dengan karakter Burma di satu sisi dan karakter Persia di sisi lainnya. Pada abad 16-17, Mrauk U menjadi pelabuhan maritim yang penting bagi kapal-kapal dagang di Teluk Bengal.
Pada 1784, raja Bamar Bodawpaya menginvasi dan berhasil menaklukan Kerajaan Arakan. Lalu Inggris menganeksasi Arakan pada 1826 setelah Perang Inggris-Burma pada 1824-1826. Era kolonial Inggris ditandai dengan arus besar masuknya orang-orang India ke Burma yang dijajah Inggris. Keturunan orang-orang India ini sekarang masuk dalam jajaran elite perekonomian Myanmar. Pada masa kolonial Inggris, tokoh Muslim India-Burma (Raja Mughal terakhir Bahadur Syah) pernah diasingkan oleh Inggris ke Rangoon setelah Pemberontakan India pada 1857. Makamnya berlokasi di Yangon dan telah menjadi seperti makam sufi yang diziarahi.
Pada 1940-an, dalam periode perjuangan kemerdekaan dan pemisahan dua Pakistan, muncul kelompok insurgen Mujahid yang ingin bergabung dengan Pakistan Timur dan memisahkan diri dari Buddhis-Burma Arakan. Mereka meminta bantuan dari Muhammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan. Jinnah mendiskusikan persoalan ini dengan Jenderal Aung San. Namun Jenderal Aung San menyatakan akan memberikan jaminan perlindungan terhadap Muslim Arakan di dalam negara Burma yang akan merdeka.
Sayangnya, Jenderal Aung San, bapak dari Aung San Suu Kyi, yang dikenal sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan Burma dan integrasionis itu, akhirnya tewas dibunuh pada 19 Juli 1947. Meski begitu, setengah tahun kemudian Burma bisa meraih kemerdekaan pada 4 Januari 1948. Tarik-ulur perjuangan integrasi dan warisan kekerasan yang berkaitan dengan pembunuhan Jenderal Aung San masih menghantui Myanmar hingga kini.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, ada tokoh Muslim India-Burma yang mendukung Jenderal Aung San, yakni Mr U Razak (1898-1947). Tokoh muslim ini merupakan politisi Burma sekuler keturunan Tamil, yang sangat mencintai Burma dan mengupayakan persatuan antara Muslim Burma dan Buddhis Burma. Sebagai seorang pendidik, ia belajar bahasa Pali, Buddhisme Theravada, dan mendirikan Kolese Mandalay yang sekarang telah menjadi Universitas Mandalay. Selain menjadi ketua Kongres Muslim Burma, Mr U Razak menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Perencanaan Nasional pada masa pemerintah sementara pra-kemerdekaan di bawah Aung San. Mr U Razak dibunuh, bersama Aung San, pada 19 Juli 1947.
Kelompok Muslim Myanmar Masa Kini
Setelah Burma Merdeka dan berubah menjadi Myanmar, ada beberapa kelompok muslim. Berdasar pengamatan Prof. Imtiyaz Yusuf, umat Islam di Myanmar dapat dibedakan dalam empat kelompok, yakni; Muslim beretnis India, Muslim Pathi atau Zerbadee, Muslim Hui Cina atau Panthay, dan Muslim Rohingya.
Pertama, Muslim Etnis India: Muslim beretnis India adalah kelompok-kelompok yang dikenal sebagai Chulias, Kaka, dan Pathan, yang dibawa penjajah Inggris untuk membantu mengurus tanah jajahan. Sebagian besar dari mereka tinggal di ibukota Rangoon (yang nantinya berubah nama menjadi Yangon). Pada saat itu, 56 persen populasi Rangoon merupakan orang India, yang sebagian besarnya cukup makmur secara ekonomi dengan bekerja sebagai pekerja pabrik dan dermaga, pedagang permata, dan pemilik bisnis. Muslim India ini berbahasa Urdu dan mengikuti tradisi-tradisi keislaman India, yakni Barelwi, Deobandi, dan Jamaat Tabligh. Mereka dipimpin oleh para mullah yang menerapkan pendidikan madrasah ala India untuk anak-anak Muslim India.
Kedua, Muslim Pathi atau Zerbadee:Muslim Pathi (Zerbadee merupakan keturunan dari perkawinan antara lelaki Muslim India/Persia dan perempuan Burma. Mereka memandang diri mereka berbeda dari kelompok Muslim lain baik secara ras maupun kultur dan cenderung mengidentifikasi diri lebih dekat kepada Buddhis Burma secara etnis dan kultur. Mereka menjauhkan diri dari kelompok Muslim India yang kehidupan keagamaannya dipengaruhi oleh tradisi Barelwi dan Deobandi. Kelompok Muslim Zerbadee, sebagai minoritas di dalam minoritas Muslim, terperangkap dalam dilema dalam menghadapi Buddhis Burma yang memiliki kesamaan ras dan kultur namun beda identitas keagamaan.
Ketiga, Muslim Hui Cina atau Panthay: Muslim Hui Cina atau Panthay, yang menjadi para pedagang. Sebagian besar dari mereka berhijrah dari Yunnan, provinsi di belahan barat daya Cina, pada abad 13. Banyak dari mereka ke Burma dalam rangka melarikan diri dari persekusi kaum komunis Cina pada 1949. Mereka tinggal di kawasan utara Mandalay.
Keempat, Muslim Rohingya: Muslim Rohingya berjumlah sekitar satu juta dan merupakan penduduk negara bagian Rakhine, yang sebelumnya merupakan Kerajaan Arakan. Kaum Rohingya dinyatakan sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan disebut dengan istilah peyoratif “kalla”, yang bermakna orang-orang berkulit gelap. Rohingya, yang juga dikenal sebagai Muslim Arakan, memiliki sejarah panjang kehadiran di wilayah itu sejak era Kerajaan Arakan bersama kaum Buddhis Arakan. Identitas Muslim Arakan ini ditolak kaum Buddhis nasionalis untuk melemahkan legitimasi klaim mereka atas kewarganegaraan Myanmar.
Munculnya Konflik dan Radikalisme Pasca Kemerdekaan Myanmar
Semenjak merdeka 4 Januari 1948, politik Myanmar didominasi oleh mayoritas Buddhis Bamar. Bamar dan 135 etnis lain secara resmi digolongkan ke dalam delapan “ras mayor nasional”, yakni Bamar, Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon, Rakhine, dan Shan. Delapan ras ini diakui sebagai penduduk pribumi Myanmar. Etnis lain digolongkan sebagai orang luar atau imigran gelap, sebagaimana kasus yang menimpa Muslim Rohingya.
Delegitimasi Rohingya bermula pada 1970-an ketika Burma dikuasi rezim militer yang dipimpin Jenderal Ne Win. Pengumuman Konstitusi Republik Sosialis Myanmar 1974 dan Ketetapan Imigrasi Darurat (Emergency Immigration Act) pada tahun yang sama menjadi dasar pendefinisian kewarganegaraan berbasis etnis. Ketetapan ini menghapus berlakunya Sertifikat Registrasi Nasional, yang dikeluarkan dengan dasar peraturan 1947, yang dimiliki oleh kaum Rohingya. Aturan baru 1974 itu memulai proses delegitimasi kewarganegaraan Rohingya. Puncaknya ada pada Undang-Undang Kewarganegaraan Burma 1982 yang menetapkan empat jenis warga, yaitu tiga warga negara tersebut di atas ditambah dengan orang asing (foreigners). Dengan dasar UU ini, Rohingya digolongkan sebagai orang asing.
Berdasar UU Kewarganegaraan 1982, etnis di Myanmar dibagi-bagi dengan basis identitas keagaman dan dengan sistem tiga tingkat kewarganegaraan: (1) warga negara penuh, (2) warga negara dengan assosiasi, dan (3) warga negara yang dinaturalisasi. Dengan dasar UU Kewarganegaraan 1982, jenis kewarganegaraan kedua dan ketiga dapat dicabut. Kaum Rohingya tidak mendapat satupun akses dari ketiga jenis kewarnegaraan itu. Kemudian, pada Juni 1989, melaui Adaptation of Expressions Law Nomor 15 Tahun 1989, nama Arakan diganti menjadi Rakhine.
Di tengah peliknya persoalan politik Myanmar, muncul radikalise dalam berbagai kelompok.
Pada 1998, Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO) dan Front Islam Rohingya Arakan (ARIF) bersama-sama mendirikan Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO) dan Tentara Nasional Rohingya (RNA). Kelompok mutakhir yang muncul melawan tentara Burma adalah Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA).
Di samping Pasukan Bersenjata Myanmar Tatmadaw, ada beberapa kelompok nasionalis Buddhis Rakhine. Kelompok nasionalis Buddhis ini mencakup Partai Nasional Arakan (ANP), Partai Pembebasan Arakan (ALP) dengan Tentara Pembebasan Arakan (ALA), dan Liga Arakan Bersatu (ULA) dengan Tentara Arakan (AA) sebagai sayap militernya.Selain itu, juga muncul gerakan ekstremis Buddhis nasionalis bernama Ma Ba Tha, yang dikenal juga dengan Gerakan 969.
Hanya saja, dari berbagai kelompok Muslin di Myanmar, cuma kelmpok Rohingya yang terdiskriminasi. Bahkan, kekerasan demi kekerasan menimpa Rohingya pada 2012-2013. Kekerasan yang membuat kaum Rohingya benar-benar menjadi orang-orang tanpa negara (stateless) terjadi pada 2015. Orang-orang Rohingya adalah satu-satunya kaum tanpa negara di Asia Tenggara.
Upaya Perdamaian Era Aung San Suu Kyi
Proses demokratisasi di Myanmar, akhirnya berhasil mengantarkan Daw Aung San Suu Kyi (DASSK) sebagai pemimpin baru. Secara de Facto, pasca kemenangan pemilu yang kedua di Myanmar, pemerintahan militer Myanmar telah memberikan kekuasaan kepada DASSK sebagai pemenang pemilu pada tahun 2015. Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, mengatakan, DASSK merupakan pemimpin yang dicintai rakyat Myanmar (menang 80 persen lebih dalam pemilu). Namun DASSK terhambat menjadi presiden karena status kewarganegaraan anaknya yang berkewarganegaraan Inggris. Meski begitu, infra dan supra struktur politik di Myanmar bersepakat untuk menempatkan DASSK sebagai State Counsellor, struktur baru sebagai pemimpin de facto yang berkuasa di samping struktur formal yang menurut konstitusi.
"Proses demokratisasi Myanmar sudah dibuka dan dimulai namun proses transisinya belum bisa terlaksana secara baik karena pemenang pemilu 2015, tidak bisa melakukan reformasi yang signifikan sebab peran militer dalam pemerintahan masih terasa kuat, militer masih menjadi bagian dari parlemen dan memiliki hak veto, sebuah yang sangat istimewa untuk memveto setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan "pengendali real" keamanan negara. DASSK sebagai pemimpin pemerintahan sipil belum punya instrumen aparatur keamanan yang kompeten sebagaimana di Negara-negara demokratis lainnya. Reformasi keamanan di Myanmar belum berjalan," kata Ito Sumardi.
Meski begitu, Aung San Suu Kyi telah berupaya membentuk Komisi Penasihat Mengenai Negara Bagian Rakhine (Advisory Commission on Rakhine State) pada 2016 dan dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dengan mandat menyelidiki persoalan Rohingya dan mengusulkan rekomendasi. Komisi ini “tidak diberi mandat untuk menginvestigasi kasus-kasus khusus mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia.”
Dalam laporan tertanggal 24 Agustus 2017, Komisi ini merekomendasikan Myanmar untuk menghilangkan restriksi terhadap akses kewarganegaraan minoritas Muslim Rohingya sebagai solusi agar konflik tidak semakin meruncing di antara dua komunitas Burma dan Rohingya. Celakanya, sebelum solusi tercapai, justru ada gerakan penyerangan dari Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) ke pos polisi dan tentara hingga terjadilan operasi keamanan dari militer Myanmar yang dampaknya menimbulkan gelombang pengunsian besar-besaran. Di balik gelombang pengungsian itu, tidak semua negara sanggung menampung kaum Rohingya. Bahkan, orang -orang Rohingya yang menjadi “imigran ilegal” di India (daerah Jammu-Kashmir, Hyderabad, Haryana, Uttar Pradesh, Delhi, dan Rajashtan) dikabarkan akan diusir.
Pengaruh Konflik Myanmar Bagi Indonesia
Yang memprihatinkan, krisis Rohingya di Myanmar punya pengaruh kuat di Indonesia. Entah bagaimana mulanya, krisis Rohingya bisa menimbulkan isu sentimen SARA di Indonesia. Ada yang ingin unjuk rasa di Candi Borobudur, ada pula aksi pelemparan ke tempat ibadah. Hal itu terjadi setelah banyaknya informasi hoax dan foto-foto hoax di berbagai media sosial. Celakanya, tokoh politik yang mantan menteri dan presiden partai, juga ketahuan menyebar foto hoax. Hal ini perlu diwaspadai masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang beragam suku dan agamanya, Indonesia wajib banyak belajar dari konflik Rohingya. Bila Indonesia sampai terjebak dalam konflik sentimen suku dan agama, dampaknya bisa menimbulkan krisis yang berkepanjangan.
Untuk itu, bila ada politisi yang mengkapitalisasi isu Rohingya menjadi sentimen SARA di Indonesia, ada baiknya segera diwaspadai. Jangan sampai terjadi, langkah-langkah reaksioner di Indonesia justru akan memicu timbulnnya keretakan hubungan diplomatik Indonesia-Myanmar. Sebab, sementara ini Indonesia diharapkan dunia internasional untuk berperan aktif melakukan diplomasi dengan Myanmar guna mencari solusi penyelesaian konflik Rohingya. Walau bagaimana pun, Myanmar adalah salah satu negara yang diakui kemerdekaannya. Sedang kemerdekaan Myanmar itu juga diraih melalui berjuangan yang berdarah-darah. Sudah tentu, bila ingin menyelesaikan konflik Rohingya harus dilakukan melalui diplomasi. Sangat konyol rasanya, jika ada sekelompok orang yang mengaku sebagai pembela agama, beretriak-teriak ingin berjihad ke Myanmar. Namun, kalau politisi Indonesia tetap nekat memanaskan situasi dengan sentimen SARA, maka hal itu akan mencoreng mukanya sendiri dan pantas untuk dimasukkan dalam daftar politisi busuk. Aneh bukan bila ada yang ingin sok pahlawan untuk kaum Rohingya tapi malah merusak kebhinnekaan Indonesia?
Akhir kata, selamat berjuang bagi kemanusiaan Rohingya, tapi tolong jangan kau lukai ibu pertiwimu sendiri. (SutBudiharto)
Daftar Bacaan
---
Dubes RI untuk Myanmar Buka-bukaan Soal Latar Belakang Krisis Rohingya - detik.com Jumat 08 September 2017
Islam di Myanmar: Bacaan Pengantar - http://crcs.ugm.ac.id.
Yegar, Moshe. 1972. The Muslims of Burma: A Study of a Minority Group. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
__________. 2002. Between Integration and Secession : The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar. Lanham, Md.: Lexington Books.
Berlie, J. A. 2008. The Burmanization of Myanmar’s Muslims. Bangkok, Thailand: White Lotus Press.
Siddiqui, Dr Habib. 2008. The Forgotten Rohingya: Their Struggle for Human Rights in Burma.
Ibrahim, Azeem. 2016. The Rohingyas: Inside Myanmar’s Hidden Genocide. London: Hurst.
Constantine, Greg. 2012. Exiled to Nowhere: Burma’s Rohingya.
Rogers, Benedict. 2016. Burma: A Nation at The Crossroads. Revised edition. Random House UK.
Crouch, Melissa (ed.). 2016. Islam and the State in Myanmar: Muslim-Buddhist Relations and the Politics of Belonging. New Delhi, India: Oxford University Press.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di Myanmar ada kelompok Budha radikal, tapi akar konflik yang menimbulkannya bisa bersumber dari banyak faktor. Yang jelas, dalam sejarah kerajaan, kelompok Islam dan Budha di Myanmar pernah ada yang bersekutu, tapi ada pula yang pernah berkonflik akibat politik kekuasaan masa kerajaan. Sedang pada masa modern ini, tentunya ada banyak faktor lagi yang bisa mendorong timbulnya konflik mengingat sejarah Burma (Myanmar) sangat akrab dengan politik kekerasan. Jenderal Aung San (ayah kandung dari Aung San Suu Kyi), yang menjadi tokoh pejuang kemerdekaan Burma, juga terbunuh dalam aksi kekerasan.
Dan faktanya, dari beberapa kelompok muslim yang tinggal di Myanmar, tidak semuanya menjadi sasaran konflik kekerasan. Ini mengindikasikan bahwa konflik yang kini berkembang di Myanmar, bukan semata-mata soal agama. Lemahnya proses demokratisasi dan reformasi, masih kuatnya pengaruh militer, dan kegagalan membangun budaya multikultural, setidaknya punya pengaruh. Yang perlu dicatat, walau proses demokratisasi sudah berjalan di Myanmar, hal itu belum berhasil menampilkan presiden baru. Aung San Suu Kyi yang menjadi pemenang pemilu tidak bisa menjadi presiden karena terganjal aturan hukum setempat terkait anak kandungnya yang masih keturunan dari Inggris. Untuk itu, bila ingin memahami akar konflik di Myanmar, ada baiknya merunut sejarah konflik masa lalu di Myanmar, baik itu mengenai sejarah masuknya Islam, konflik kerajaan, konflik masa kolonial, hingga konflik masa kemerdekaan.
Sejarah Muslim dan Jejak Kolonial di Arakan
Menurut Prof. Imtiyaz Yusuf (Direktur Center for Buddhist-Muslim Understanding, Mahidol University, Thailand), sejarah kehadiran umat muslim Arakan di Myanmar sudah berakar jauh sejak zaman Kerajaan Arakan. Pada saat itu belum ada batas-batas negara sebagaimana sekarang. Perpindahan penduduk berlangsung bebas dari dan ke Chittagong di Bengal. Secara politik, Arakan berhubungan dengan Kerajaan Mrauk-U (1430-1785) yang menguasai banyak kawasan yang saat ini menjadi wilayah Bangladesh dan Myanmar. Pendirinya adalah Narameikhla Min Saw Mon, seorang Buddhis yang juga dikenal sebagai Suleiman Shaof dari Dinasi Mrauk-U Arakan.
Narameikhla menjadi raja pada 1404 namun kemudian terusir pada 1406. Ia tinggal di pengasingan di Bengal selama 24 tahun dan baru mampu merebut kembali takhtanya pada 1430 dengan dukungan militer dari Sultan Jalaluddin Muhammad Syah dari Kesultanan Bengal. Dari tahun 1430 hingga 1531, Mrauk-U menjadi wilayah protektorat Kesultanan Bengal sehingga raja Buddhis Arakan ini beserta para pejabat pengadilan dan pemimpin militernya memiliki gelar keislaman dari Kesultanan Bengal. Koin emas/dinar menjadi alat pembayaran yang sah di Arakan pada waktu itu. Raja Narameikhla mencetak koin dengan karakter Burma di satu sisi dan karakter Persia di sisi lainnya. Pada abad 16-17, Mrauk U menjadi pelabuhan maritim yang penting bagi kapal-kapal dagang di Teluk Bengal.
Pada 1784, raja Bamar Bodawpaya menginvasi dan berhasil menaklukan Kerajaan Arakan. Lalu Inggris menganeksasi Arakan pada 1826 setelah Perang Inggris-Burma pada 1824-1826. Era kolonial Inggris ditandai dengan arus besar masuknya orang-orang India ke Burma yang dijajah Inggris. Keturunan orang-orang India ini sekarang masuk dalam jajaran elite perekonomian Myanmar. Pada masa kolonial Inggris, tokoh Muslim India-Burma (Raja Mughal terakhir Bahadur Syah) pernah diasingkan oleh Inggris ke Rangoon setelah Pemberontakan India pada 1857. Makamnya berlokasi di Yangon dan telah menjadi seperti makam sufi yang diziarahi.
Pada 1940-an, dalam periode perjuangan kemerdekaan dan pemisahan dua Pakistan, muncul kelompok insurgen Mujahid yang ingin bergabung dengan Pakistan Timur dan memisahkan diri dari Buddhis-Burma Arakan. Mereka meminta bantuan dari Muhammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan. Jinnah mendiskusikan persoalan ini dengan Jenderal Aung San. Namun Jenderal Aung San menyatakan akan memberikan jaminan perlindungan terhadap Muslim Arakan di dalam negara Burma yang akan merdeka.
Sayangnya, Jenderal Aung San, bapak dari Aung San Suu Kyi, yang dikenal sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan Burma dan integrasionis itu, akhirnya tewas dibunuh pada 19 Juli 1947. Meski begitu, setengah tahun kemudian Burma bisa meraih kemerdekaan pada 4 Januari 1948. Tarik-ulur perjuangan integrasi dan warisan kekerasan yang berkaitan dengan pembunuhan Jenderal Aung San masih menghantui Myanmar hingga kini.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, ada tokoh Muslim India-Burma yang mendukung Jenderal Aung San, yakni Mr U Razak (1898-1947). Tokoh muslim ini merupakan politisi Burma sekuler keturunan Tamil, yang sangat mencintai Burma dan mengupayakan persatuan antara Muslim Burma dan Buddhis Burma. Sebagai seorang pendidik, ia belajar bahasa Pali, Buddhisme Theravada, dan mendirikan Kolese Mandalay yang sekarang telah menjadi Universitas Mandalay. Selain menjadi ketua Kongres Muslim Burma, Mr U Razak menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Perencanaan Nasional pada masa pemerintah sementara pra-kemerdekaan di bawah Aung San. Mr U Razak dibunuh, bersama Aung San, pada 19 Juli 1947.
Kelompok Muslim Myanmar Masa Kini
Setelah Burma Merdeka dan berubah menjadi Myanmar, ada beberapa kelompok muslim. Berdasar pengamatan Prof. Imtiyaz Yusuf, umat Islam di Myanmar dapat dibedakan dalam empat kelompok, yakni; Muslim beretnis India, Muslim Pathi atau Zerbadee, Muslim Hui Cina atau Panthay, dan Muslim Rohingya.
Pertama, Muslim Etnis India: Muslim beretnis India adalah kelompok-kelompok yang dikenal sebagai Chulias, Kaka, dan Pathan, yang dibawa penjajah Inggris untuk membantu mengurus tanah jajahan. Sebagian besar dari mereka tinggal di ibukota Rangoon (yang nantinya berubah nama menjadi Yangon). Pada saat itu, 56 persen populasi Rangoon merupakan orang India, yang sebagian besarnya cukup makmur secara ekonomi dengan bekerja sebagai pekerja pabrik dan dermaga, pedagang permata, dan pemilik bisnis. Muslim India ini berbahasa Urdu dan mengikuti tradisi-tradisi keislaman India, yakni Barelwi, Deobandi, dan Jamaat Tabligh. Mereka dipimpin oleh para mullah yang menerapkan pendidikan madrasah ala India untuk anak-anak Muslim India.
Kedua, Muslim Pathi atau Zerbadee:Muslim Pathi (Zerbadee merupakan keturunan dari perkawinan antara lelaki Muslim India/Persia dan perempuan Burma. Mereka memandang diri mereka berbeda dari kelompok Muslim lain baik secara ras maupun kultur dan cenderung mengidentifikasi diri lebih dekat kepada Buddhis Burma secara etnis dan kultur. Mereka menjauhkan diri dari kelompok Muslim India yang kehidupan keagamaannya dipengaruhi oleh tradisi Barelwi dan Deobandi. Kelompok Muslim Zerbadee, sebagai minoritas di dalam minoritas Muslim, terperangkap dalam dilema dalam menghadapi Buddhis Burma yang memiliki kesamaan ras dan kultur namun beda identitas keagamaan.
Ketiga, Muslim Hui Cina atau Panthay: Muslim Hui Cina atau Panthay, yang menjadi para pedagang. Sebagian besar dari mereka berhijrah dari Yunnan, provinsi di belahan barat daya Cina, pada abad 13. Banyak dari mereka ke Burma dalam rangka melarikan diri dari persekusi kaum komunis Cina pada 1949. Mereka tinggal di kawasan utara Mandalay.
Keempat, Muslim Rohingya: Muslim Rohingya berjumlah sekitar satu juta dan merupakan penduduk negara bagian Rakhine, yang sebelumnya merupakan Kerajaan Arakan. Kaum Rohingya dinyatakan sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan disebut dengan istilah peyoratif “kalla”, yang bermakna orang-orang berkulit gelap. Rohingya, yang juga dikenal sebagai Muslim Arakan, memiliki sejarah panjang kehadiran di wilayah itu sejak era Kerajaan Arakan bersama kaum Buddhis Arakan. Identitas Muslim Arakan ini ditolak kaum Buddhis nasionalis untuk melemahkan legitimasi klaim mereka atas kewarganegaraan Myanmar.
Munculnya Konflik dan Radikalisme Pasca Kemerdekaan Myanmar
Semenjak merdeka 4 Januari 1948, politik Myanmar didominasi oleh mayoritas Buddhis Bamar. Bamar dan 135 etnis lain secara resmi digolongkan ke dalam delapan “ras mayor nasional”, yakni Bamar, Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon, Rakhine, dan Shan. Delapan ras ini diakui sebagai penduduk pribumi Myanmar. Etnis lain digolongkan sebagai orang luar atau imigran gelap, sebagaimana kasus yang menimpa Muslim Rohingya.
Delegitimasi Rohingya bermula pada 1970-an ketika Burma dikuasi rezim militer yang dipimpin Jenderal Ne Win. Pengumuman Konstitusi Republik Sosialis Myanmar 1974 dan Ketetapan Imigrasi Darurat (Emergency Immigration Act) pada tahun yang sama menjadi dasar pendefinisian kewarganegaraan berbasis etnis. Ketetapan ini menghapus berlakunya Sertifikat Registrasi Nasional, yang dikeluarkan dengan dasar peraturan 1947, yang dimiliki oleh kaum Rohingya. Aturan baru 1974 itu memulai proses delegitimasi kewarganegaraan Rohingya. Puncaknya ada pada Undang-Undang Kewarganegaraan Burma 1982 yang menetapkan empat jenis warga, yaitu tiga warga negara tersebut di atas ditambah dengan orang asing (foreigners). Dengan dasar UU ini, Rohingya digolongkan sebagai orang asing.
Berdasar UU Kewarganegaraan 1982, etnis di Myanmar dibagi-bagi dengan basis identitas keagaman dan dengan sistem tiga tingkat kewarganegaraan: (1) warga negara penuh, (2) warga negara dengan assosiasi, dan (3) warga negara yang dinaturalisasi. Dengan dasar UU Kewarganegaraan 1982, jenis kewarganegaraan kedua dan ketiga dapat dicabut. Kaum Rohingya tidak mendapat satupun akses dari ketiga jenis kewarnegaraan itu. Kemudian, pada Juni 1989, melaui Adaptation of Expressions Law Nomor 15 Tahun 1989, nama Arakan diganti menjadi Rakhine.
Di tengah peliknya persoalan politik Myanmar, muncul radikalise dalam berbagai kelompok.
Pada 1998, Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO) dan Front Islam Rohingya Arakan (ARIF) bersama-sama mendirikan Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO) dan Tentara Nasional Rohingya (RNA). Kelompok mutakhir yang muncul melawan tentara Burma adalah Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA).
Di samping Pasukan Bersenjata Myanmar Tatmadaw, ada beberapa kelompok nasionalis Buddhis Rakhine. Kelompok nasionalis Buddhis ini mencakup Partai Nasional Arakan (ANP), Partai Pembebasan Arakan (ALP) dengan Tentara Pembebasan Arakan (ALA), dan Liga Arakan Bersatu (ULA) dengan Tentara Arakan (AA) sebagai sayap militernya.Selain itu, juga muncul gerakan ekstremis Buddhis nasionalis bernama Ma Ba Tha, yang dikenal juga dengan Gerakan 969.
Hanya saja, dari berbagai kelompok Muslin di Myanmar, cuma kelmpok Rohingya yang terdiskriminasi. Bahkan, kekerasan demi kekerasan menimpa Rohingya pada 2012-2013. Kekerasan yang membuat kaum Rohingya benar-benar menjadi orang-orang tanpa negara (stateless) terjadi pada 2015. Orang-orang Rohingya adalah satu-satunya kaum tanpa negara di Asia Tenggara.
Upaya Perdamaian Era Aung San Suu Kyi
Proses demokratisasi di Myanmar, akhirnya berhasil mengantarkan Daw Aung San Suu Kyi (DASSK) sebagai pemimpin baru. Secara de Facto, pasca kemenangan pemilu yang kedua di Myanmar, pemerintahan militer Myanmar telah memberikan kekuasaan kepada DASSK sebagai pemenang pemilu pada tahun 2015. Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, mengatakan, DASSK merupakan pemimpin yang dicintai rakyat Myanmar (menang 80 persen lebih dalam pemilu). Namun DASSK terhambat menjadi presiden karena status kewarganegaraan anaknya yang berkewarganegaraan Inggris. Meski begitu, infra dan supra struktur politik di Myanmar bersepakat untuk menempatkan DASSK sebagai State Counsellor, struktur baru sebagai pemimpin de facto yang berkuasa di samping struktur formal yang menurut konstitusi.
"Proses demokratisasi Myanmar sudah dibuka dan dimulai namun proses transisinya belum bisa terlaksana secara baik karena pemenang pemilu 2015, tidak bisa melakukan reformasi yang signifikan sebab peran militer dalam pemerintahan masih terasa kuat, militer masih menjadi bagian dari parlemen dan memiliki hak veto, sebuah yang sangat istimewa untuk memveto setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan "pengendali real" keamanan negara. DASSK sebagai pemimpin pemerintahan sipil belum punya instrumen aparatur keamanan yang kompeten sebagaimana di Negara-negara demokratis lainnya. Reformasi keamanan di Myanmar belum berjalan," kata Ito Sumardi.
Meski begitu, Aung San Suu Kyi telah berupaya membentuk Komisi Penasihat Mengenai Negara Bagian Rakhine (Advisory Commission on Rakhine State) pada 2016 dan dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dengan mandat menyelidiki persoalan Rohingya dan mengusulkan rekomendasi. Komisi ini “tidak diberi mandat untuk menginvestigasi kasus-kasus khusus mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia.”
Dalam laporan tertanggal 24 Agustus 2017, Komisi ini merekomendasikan Myanmar untuk menghilangkan restriksi terhadap akses kewarganegaraan minoritas Muslim Rohingya sebagai solusi agar konflik tidak semakin meruncing di antara dua komunitas Burma dan Rohingya. Celakanya, sebelum solusi tercapai, justru ada gerakan penyerangan dari Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) ke pos polisi dan tentara hingga terjadilan operasi keamanan dari militer Myanmar yang dampaknya menimbulkan gelombang pengunsian besar-besaran. Di balik gelombang pengungsian itu, tidak semua negara sanggung menampung kaum Rohingya. Bahkan, orang -orang Rohingya yang menjadi “imigran ilegal” di India (daerah Jammu-Kashmir, Hyderabad, Haryana, Uttar Pradesh, Delhi, dan Rajashtan) dikabarkan akan diusir.
Pengaruh Konflik Myanmar Bagi Indonesia
Yang memprihatinkan, krisis Rohingya di Myanmar punya pengaruh kuat di Indonesia. Entah bagaimana mulanya, krisis Rohingya bisa menimbulkan isu sentimen SARA di Indonesia. Ada yang ingin unjuk rasa di Candi Borobudur, ada pula aksi pelemparan ke tempat ibadah. Hal itu terjadi setelah banyaknya informasi hoax dan foto-foto hoax di berbagai media sosial. Celakanya, tokoh politik yang mantan menteri dan presiden partai, juga ketahuan menyebar foto hoax. Hal ini perlu diwaspadai masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang beragam suku dan agamanya, Indonesia wajib banyak belajar dari konflik Rohingya. Bila Indonesia sampai terjebak dalam konflik sentimen suku dan agama, dampaknya bisa menimbulkan krisis yang berkepanjangan.
Untuk itu, bila ada politisi yang mengkapitalisasi isu Rohingya menjadi sentimen SARA di Indonesia, ada baiknya segera diwaspadai. Jangan sampai terjadi, langkah-langkah reaksioner di Indonesia justru akan memicu timbulnnya keretakan hubungan diplomatik Indonesia-Myanmar. Sebab, sementara ini Indonesia diharapkan dunia internasional untuk berperan aktif melakukan diplomasi dengan Myanmar guna mencari solusi penyelesaian konflik Rohingya. Walau bagaimana pun, Myanmar adalah salah satu negara yang diakui kemerdekaannya. Sedang kemerdekaan Myanmar itu juga diraih melalui berjuangan yang berdarah-darah. Sudah tentu, bila ingin menyelesaikan konflik Rohingya harus dilakukan melalui diplomasi. Sangat konyol rasanya, jika ada sekelompok orang yang mengaku sebagai pembela agama, beretriak-teriak ingin berjihad ke Myanmar. Namun, kalau politisi Indonesia tetap nekat memanaskan situasi dengan sentimen SARA, maka hal itu akan mencoreng mukanya sendiri dan pantas untuk dimasukkan dalam daftar politisi busuk. Aneh bukan bila ada yang ingin sok pahlawan untuk kaum Rohingya tapi malah merusak kebhinnekaan Indonesia?
Akhir kata, selamat berjuang bagi kemanusiaan Rohingya, tapi tolong jangan kau lukai ibu pertiwimu sendiri. (SutBudiharto)
Daftar Bacaan
---
Dubes RI untuk Myanmar Buka-bukaan Soal Latar Belakang Krisis Rohingya - detik.com Jumat 08 September 2017
Islam di Myanmar: Bacaan Pengantar - http://crcs.ugm.ac.id.
Yegar, Moshe. 1972. The Muslims of Burma: A Study of a Minority Group. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
__________. 2002. Between Integration and Secession : The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar. Lanham, Md.: Lexington Books.
Berlie, J. A. 2008. The Burmanization of Myanmar’s Muslims. Bangkok, Thailand: White Lotus Press.
Siddiqui, Dr Habib. 2008. The Forgotten Rohingya: Their Struggle for Human Rights in Burma.
Ibrahim, Azeem. 2016. The Rohingyas: Inside Myanmar’s Hidden Genocide. London: Hurst.
Constantine, Greg. 2012. Exiled to Nowhere: Burma’s Rohingya.
Rogers, Benedict. 2016. Burma: A Nation at The Crossroads. Revised edition. Random House UK.
Crouch, Melissa (ed.). 2016. Islam and the State in Myanmar: Muslim-Buddhist Relations and the Politics of Belonging. New Delhi, India: Oxford University Press.
Demikianlah Artikel Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi
Sekianlah artikel Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Rumitnya Rohingya: Dari Konflik Kerajaan, Kolonial, Rezim Militeristik dan Lemahnya Demokratisasi dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/09/rumitnya-rohingya-dari-konflik-kerajaan.html