Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965
Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965 telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Trending, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965
link : Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965
Judul : Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965
link : Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965
Motobalapan |
Munculnya pernyataan "Emag gue pikirin" (EGP) yang dipaparkan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam diskusi di ILC, TV One, Rabu (20/9) malam terkait pro-kontra pemutaran film G30S/PKI, sungguh membuat batin jadi prihatin. Pernyataan tersebut terkesan emosional dan kurang edukatif bagi pengembangan kultur harmoni di Indonesia yang multikultural. Padahal, dalam film G30S/PKI sendiri banyak menimbulkan kontroversi. Karena itu, Saya tergerak untuk menggali lagi kajian-kajian akademik terkait Kejahatan Kemanusiaan 1965 untuk dibagikan kepada publik agar memperkaya perspektif dalam memahami sejarah kelam tragedi 1965.
Dari berbagai kajian yang Saya dapatkan, ada satu tulisan cukup menarik, yakni "Kejahatan Kemanusiaan 1965 dan Pengembalian Indonesia ke Cengkeraman Kapitalisme Neoliberal". Tulisan Arif Novianto disarikan dari hasil diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM. Sekedari tahu,MAP Corner-Klub MKP UGM adalah klub diskusi yang digawangi oleh orang-orang muda dari MAP (Magister Administrasi Publik) & MKP (Manajemen & Kebijakan Publik) Universitas Gadjah Mada. MAP Corner-Klub MKP ini mulai terbentuk pada 14 Juni 2011, dengan idealisme untuk membangun budaya berpikir kritis di kampus kerakyatan UGM. Sehingga, pantas diyakini bahwa hasil diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM merupakan kajian yang netral dan bebas dari kepentingan politik pragmatis kelompok tertentu.
Seperti apakah hasil diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM terkait Kejahatan Kemanusiaan 1965? Berikur nukilan dari tulisan Arif Novianto berjudul "Kejahatan Kemanusiaan 1965 dan Pengembalian Indonesia ke Cengkeraman Kapitalisme Neoliberal" yang dipublikasikan http://ift.tt/2hnr3HN pada February 3, 2017.
Peristiwa kejahatan kemanusian paska-operasi militer 1965 sampai sekarang masih belum terselesaikan. Imajinasi akan bahaya laten komunisme yang ditanamkan oleh regim orba masih begitu menguat ditengah era keterbukaan informasi publik seperti sekarang. Sehingga proses pendiskriminasian & stigmatisasi terhadap mereka yang dituduh komunis dan yang masih memiliki hubungan kekerabatan masih tetap berjalan.
Bercak noda sejarah 1965 ini memang masih begitu membekas dan menjadi beban sejarah bagi masa depan Indonesia. Hal tersebut melatarbelakangi dilaksanakannya Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag – Belanda pada 10-13 November 2015. IPT bermaksud mendesak penyelesaian secara hukum dan berkeadilan oleh negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM seputar pembantaian 1965 dan dampaknya yang selama ini terabaikan melalui pengadilan formal. Bagaimana masa depan penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 yang sampai sekarang belum terselesaikan? Apakah Pengadilan Rakyat Internasional ini dapat menjadi jawaban terhadap kasus kejahatan kemanusiaan tersebut?. Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi pemantik diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM, pada selasa 17 Oktober 2015.
Baskara T. Wardaya (Dosen Sanata Dharma) dan Roy Murtadho (IPT 1965) mengatakan bahwa peristiwa kejahatan kemanusian ini memang harus dibuka lebar-lebar dan keadilan harus ditegakan. Bagi Baskara T. Wardaya melihat tragedy 1965 sebagai peristiwa politik, tidak boleh hanya berkutat pada satu kejadian di dini hari 01 Oktober 1965 semata (6 Jenderal & 1 Perwira dibunuh), tetapi juga harus dari empat alur yang saling berkelindan.
1. Operasi Militer 01 Oktober 1965, kemudian militer pro-Soeharto menuduh PKI sebagai pelakunya hingga terjadi peristiwa penyiksaan, pemenjaraan massal dan pembantaian terhadap kaum kiri. Setelah sebelumnya militer pro-Soeharto memonopoli arus informasi publik.
2. Kudeta merangkak terhadap Soekarno. Paska operasi militer 01 Oktober 2015 dan penuduhan terhadap PKI, seluruh basis kekuatan rakyat dan pendukung Presiden Soekarno dipreteli. Potensi besar revolusi dihancurkan oleh gerakan kontra-revolusi. Hingga akhirnya penggulingan Soekarno dan diganti oleh Soeharto pada 1967.
3. Hegemonisasi Orde Baru dan Militer. Untuk menginternalisasi kepercayaan pada rakyat dan agar rakyat memproduksi diskursus berdarah yang dibangun rezim Orba bahwa “PKI penghianat dan Militer Pahlawan”, maka proses hegemoni dijalankan. Itu dilakukan melalui berbagai karya sastra (kelompok Manikebu), buku-buku, pembuatan film, novel, prasasti, kurikulum sekolah, penulisan sejarah dan museum.
4. Mengembalikan Indonesia pada cengkeraman sistem kapitalisme neoliberal. Upaya mengembalikan Indonesia pada sistem kapitalisme tersebut dilakukan oleh Soeharto dan Militer dengan terlebih dahulu mengubur kekuatan sosialisme a la Soekarno, itulah yang membuat penghancuran basis gerakan rakyat dilakukan dan kemudian rakyat dibuat menjadi “massa mengambang”. Setelah proses tersebut terjadi penjarahan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia secara massal, hingga Indonesia tidak berdaulat atas SDA-nya.
Baskara melihat bahwa benang merah dari peristiwa oktober 1965 tersebut adalah penjarahan massal terhadap SDA dan pengembalian Indonesia pada sistem ekonomi kapitalistik yang mirip sistem ekonomi kolonial. Artinya tragedi 1965 bukan hanya peristiwa kejahatan kemanusian tetapi juga tragedi kelas sosial, yang mana basis gerakan rakyat (proletar) dihancurkan. Sehingga menurut Baskara gerakan untuk membuka luka sejarah dan mencari keadilan juga harus menyasar benang merah pembalikan sistem ekonomi tersebut.
Sedangkan Roy Murtadho dari IPT 1965 berpandangan bahwa kejahatan kemanusian 1965 akan keliru jika dibaca hanya sekedar peristiwa antar masyarakat di akar rumput saja yang kemudian seolah-olah dianggap wajar kalau terjadi pembunuhan massal. Akan tetapi perlu dibacara secara menyeluruh, seperti bagaimana peran Militer yang secara masiv dan terorganisasi datang ke Kyai-kyai untuk diajak menumpas PKI setelah sebelumnya Militer menuduh PKI sebagai dalang operasi militer 1965. Pertentangan antara PKI dengan Masyumi sebelum 1965 dimanfaatkan oleh Militer untuk meminjam tangan orang lain dalam menghantam PKI.
(Arif Novianto - http://ift.tt/2hnr3HN pada February 3, 2017)
Munculnya pernyataan "Emag gue pikirin" (EGP) yang dipaparkan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam diskusi di ILC, TV One, Rabu (20/9) malam terkait pro-kontra pemutaran film G30S/PKI, sungguh membuat batin jadi prihatin. Pernyataan tersebut terkesan emosional dan kurang edukatif bagi pengembangan kultur harmoni di Indonesia yang multikultural. Padahal, dalam film G30S/PKI sendiri banyak menimbulkan kontroversi. Karena itu, Saya tergerak untuk menggali lagi kajian-kajian akademik terkait Kejahatan Kemanusiaan 1965 untuk dibagikan kepada publik agar memperkaya perspektif dalam memahami sejarah kelam tragedi 1965.
Dari berbagai kajian yang Saya dapatkan, ada satu tulisan cukup menarik, yakni "Kejahatan Kemanusiaan 1965 dan Pengembalian Indonesia ke Cengkeraman Kapitalisme Neoliberal". Tulisan Arif Novianto disarikan dari hasil diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM. Sekedari tahu,MAP Corner-Klub MKP UGM adalah klub diskusi yang digawangi oleh orang-orang muda dari MAP (Magister Administrasi Publik) & MKP (Manajemen & Kebijakan Publik) Universitas Gadjah Mada. MAP Corner-Klub MKP ini mulai terbentuk pada 14 Juni 2011, dengan idealisme untuk membangun budaya berpikir kritis di kampus kerakyatan UGM. Sehingga, pantas diyakini bahwa hasil diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM merupakan kajian yang netral dan bebas dari kepentingan politik pragmatis kelompok tertentu.
Seperti apakah hasil diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM terkait Kejahatan Kemanusiaan 1965? Berikur nukilan dari tulisan Arif Novianto berjudul "Kejahatan Kemanusiaan 1965 dan Pengembalian Indonesia ke Cengkeraman Kapitalisme Neoliberal" yang dipublikasikan http://ift.tt/2hnr3HN pada February 3, 2017.
Peristiwa kejahatan kemanusian paska-operasi militer 1965 sampai sekarang masih belum terselesaikan. Imajinasi akan bahaya laten komunisme yang ditanamkan oleh regim orba masih begitu menguat ditengah era keterbukaan informasi publik seperti sekarang. Sehingga proses pendiskriminasian & stigmatisasi terhadap mereka yang dituduh komunis dan yang masih memiliki hubungan kekerabatan masih tetap berjalan.
Bercak noda sejarah 1965 ini memang masih begitu membekas dan menjadi beban sejarah bagi masa depan Indonesia. Hal tersebut melatarbelakangi dilaksanakannya Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag – Belanda pada 10-13 November 2015. IPT bermaksud mendesak penyelesaian secara hukum dan berkeadilan oleh negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM seputar pembantaian 1965 dan dampaknya yang selama ini terabaikan melalui pengadilan formal. Bagaimana masa depan penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 yang sampai sekarang belum terselesaikan? Apakah Pengadilan Rakyat Internasional ini dapat menjadi jawaban terhadap kasus kejahatan kemanusiaan tersebut?. Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi pemantik diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM, pada selasa 17 Oktober 2015.
Baskara T. Wardaya (Dosen Sanata Dharma) dan Roy Murtadho (IPT 1965) mengatakan bahwa peristiwa kejahatan kemanusian ini memang harus dibuka lebar-lebar dan keadilan harus ditegakan. Bagi Baskara T. Wardaya melihat tragedy 1965 sebagai peristiwa politik, tidak boleh hanya berkutat pada satu kejadian di dini hari 01 Oktober 1965 semata (6 Jenderal & 1 Perwira dibunuh), tetapi juga harus dari empat alur yang saling berkelindan.
1. Operasi Militer 01 Oktober 1965, kemudian militer pro-Soeharto menuduh PKI sebagai pelakunya hingga terjadi peristiwa penyiksaan, pemenjaraan massal dan pembantaian terhadap kaum kiri. Setelah sebelumnya militer pro-Soeharto memonopoli arus informasi publik.
2. Kudeta merangkak terhadap Soekarno. Paska operasi militer 01 Oktober 2015 dan penuduhan terhadap PKI, seluruh basis kekuatan rakyat dan pendukung Presiden Soekarno dipreteli. Potensi besar revolusi dihancurkan oleh gerakan kontra-revolusi. Hingga akhirnya penggulingan Soekarno dan diganti oleh Soeharto pada 1967.
3. Hegemonisasi Orde Baru dan Militer. Untuk menginternalisasi kepercayaan pada rakyat dan agar rakyat memproduksi diskursus berdarah yang dibangun rezim Orba bahwa “PKI penghianat dan Militer Pahlawan”, maka proses hegemoni dijalankan. Itu dilakukan melalui berbagai karya sastra (kelompok Manikebu), buku-buku, pembuatan film, novel, prasasti, kurikulum sekolah, penulisan sejarah dan museum.
4. Mengembalikan Indonesia pada cengkeraman sistem kapitalisme neoliberal. Upaya mengembalikan Indonesia pada sistem kapitalisme tersebut dilakukan oleh Soeharto dan Militer dengan terlebih dahulu mengubur kekuatan sosialisme a la Soekarno, itulah yang membuat penghancuran basis gerakan rakyat dilakukan dan kemudian rakyat dibuat menjadi “massa mengambang”. Setelah proses tersebut terjadi penjarahan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia secara massal, hingga Indonesia tidak berdaulat atas SDA-nya.
Baskara melihat bahwa benang merah dari peristiwa oktober 1965 tersebut adalah penjarahan massal terhadap SDA dan pengembalian Indonesia pada sistem ekonomi kapitalistik yang mirip sistem ekonomi kolonial. Artinya tragedi 1965 bukan hanya peristiwa kejahatan kemanusian tetapi juga tragedi kelas sosial, yang mana basis gerakan rakyat (proletar) dihancurkan. Sehingga menurut Baskara gerakan untuk membuka luka sejarah dan mencari keadilan juga harus menyasar benang merah pembalikan sistem ekonomi tersebut.
Sedangkan Roy Murtadho dari IPT 1965 berpandangan bahwa kejahatan kemanusian 1965 akan keliru jika dibaca hanya sekedar peristiwa antar masyarakat di akar rumput saja yang kemudian seolah-olah dianggap wajar kalau terjadi pembunuhan massal. Akan tetapi perlu dibacara secara menyeluruh, seperti bagaimana peran Militer yang secara masiv dan terorganisasi datang ke Kyai-kyai untuk diajak menumpas PKI setelah sebelumnya Militer menuduh PKI sebagai dalang operasi militer 1965. Pertentangan antara PKI dengan Masyumi sebelum 1965 dimanfaatkan oleh Militer untuk meminjam tangan orang lain dalam menghantam PKI.
(Arif Novianto - http://ift.tt/2hnr3HN pada February 3, 2017)
Demikianlah Artikel Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965
Sekianlah artikel Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965 kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Antara Pejabat EGP dan Kejahatan Kemanusiaan 1965 dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/09/antara-pejabat-egp-dan-kejahatan.html