Sembarang Bicara Utang

Sembarang Bicara Utang - Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Sembarang Bicara Utang telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya. Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.

Judul : Sembarang Bicara Utang

link : Sembarang Bicara Utang

Motobalapan | Berita Vlova - Metrotvnews.com, Jakarta: Utang dan kedaulatan seakan-akan tak berjarak. Peristiwa 24 Oktober 1949, misalnya, pelunasan utang yang semestinya ditanggung Pemerintah Hindia Belanda dipasrahkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai salah satu syarat proses peralihan kekuasaan.

Dalam perundingan yang masyhur disebut Konferensi Meja Bundar (KMB) itu, utang sebesar 4,3 miliar gulden mau tidak mau dibayar delegasi Indonesia demi meraih kedaulatan penuh. Meski, sebenarnya sangkutan itu merupakan dampak dari Belanda yang bertekuk lutut kepada Jepang pada 1942.

Tidak serupa, tetapi tamsil utang negara dalam alam modern bisa belajar dari yang apa menimpa Yunani. Tahun 2012 merupakan masa pailit terbesar sepanjang sejarah Negeri Para Dewa itu. Yunani menjadi negara maju pertama yang gagal membayar pinjaman sebesar 1,6 miliar euro dari Dana Moneter Internasional IMF. Sementara, total utang yang ditanggung sebesar 323 miliar euro.

Pengujung Juni 2015, Pemerintah Yunani mengumumkan penutupan semua bank selama sepuluh hari. ATM kosong. Jika pun ada, penarikan uang dibatasi hingga 60 euro per hari.

Defisit anggaran Yunani tiba-tiba direvisi menjadi belasan persen, jauh melebihi batas tiga persen yang ditetapkan Uni Eropa.

Baca: Yunani Minta Kesepakatan Bantuan Utang di Pertemuan Juni

Yunani dituntut mengubah strateginya untuk memulihkan keuangan negara. Nahas, hancurnya kepercayaan pada negara itu menjadikannya tidak bisa mendapat pinjaman uang di pasar obligasi. 

Sejurus kemudian, Yunani diisukan bangkrut. Masyarakat amat resah, lantaran segala kemungkinan bisa terjadi.

Utang Indonesia dari masa ke masa

Meski nyaris tak bisa dihindari, utang menjadi momok bagi negara-negara di dunia. Di Indonesia, kegalauan soal utang berpuncak pada 1998.

Menghimpun data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Presiden Soeharto menyisakan utang Rp551,4 triliun atau ekuivalen USD68,7 miliar. Sementara rasio utang kala itu sebesar 57,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Pemerintahan BJ Habibie pada 1999 memiliki total outstanding utang Rp938,8 triliun. Rasio utang pun membengkak menjadi 85,4 persen dari PDB. Sedangkan nilai utang Pemerintahan Abdurrahman Wahid, menjadi Rp 1.232,8 triliun pada periode 2000. Tapi, berkat denominasi dolar Amerika Serikat (AS), angka itu turun menjadi USD129,3 miliar. Memasuki 2001, rasio utang merendah menjadi 77,2 persen. 

Ketika kepemimpinan berpindah kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, utang Indonesia mencapai Rp1.223,7 triliun dengan rasio utang 67,2 persen pada periode 2002. Sedangkan di tahun berikutnya, bertambah menjadi Rp1.230,6 triliun meski dengan rasio utang 61,1 persen.

Menjelang 2004, utang Indonesia menjadi Rp1.298 triliun dengan rasio utang 56,5 persen. Pun dalam dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angka dan rasio utang negara mengalami pasang surut.

Jumlah tertinggi di era SBY terdapat pada periode 2014 dengan total utang Rp 2.608,8 triliun. Sementara rasio utang terhadap PDB cenderung menurun dari 47,3 persen pada 2005 menjadi 24,7 persen pada 2012.

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tentu Indonesia mengalami perjalanan lain lagi. Di pengujung 2015, utang pemerintah naik menjadi Rp3.165,2 triliun dengan rasio utang terhadap PDB meningkat menjadi 27,4 persen. Sedangkan sepanjang 2016, total outstanding utang pemerintah tercatat menjadi Rp3.466,9 triliun dengan rasio utang 27,5 persen dari PDB.

Perkaranya, ada banyak faktor yang turut menentukan utang negara itu dianggap naik, ataupun turun. Termasuk pada pemerintahan hari ini, peningkatan pembangunan infrastruktur yang manfaatnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, tentu memerlukan ongkos yang tak sedikit.

Baca: Demi Pembangunan, Menko Darmin tak Khawatir Utang Pemerintah Naik

Yang penting, dalam menghitung utang negara bukan cuma bertumpu pada besaran angka semata. Selain menimbang besarnya rasio utang terhadap PDB, perlu juga ke mana peruntukan duit yang telah dikucurkan.

Membangun

Per Juni 2017, utang Indonesia di luar negeri sebesar Rp3.706,52 triliun. Secara kalkulasi, meningkat sebesar Rp34,19 triliun dibanding bulan sebelumnya.

Masih dari Kemenkeu, utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2.979,50 triliun atau 80,4 persen dan pinjaman sebesar Rp727,02 triliun alias 19,6 persen. Penambahan utang neto 2017 sampai dengan Juni 2017 sebesar Rp191,06 triliun yang berasal dari kenaikan SBN sebesar Rp198,89 triliun dan pelunasan pinjaman mencapai sebesar Rp7,83 Triliun.

Sejak mula, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla memang menekadkan masa bakti pertama untuk konsen menggenjot pembangunan yang selama ini dianggapnya masih sangat kurang. 

Berbagai infrastruktur tercantum dalam daftar 225 proyek. Pembangunan jalan tol, jalan nasional strategis non-tol, jalur dan sarana kereta api antarkota dan dalam kota, revitalisasi dan pembangunan bandara baru, pelabuhan, program sejuta  rumah, kawasan ekonomi khusus, hingga pembangunan waduk atau bendungan.
Khusus tol, Jokowi menjadikannya prioritas pembangunan demi terciptanya pemerataan daerah dan memajukan perekonomian nasional. Hingga 2016, panjang tol yang telah dibangun mencapai 176 km. Jumlah yang melebihi capaian pembangunan tol di masa-masa sebelumnya. 

Tahun ini, ruas tol yang telah terbangun secara menyeluruh dan siap dioperasikan ditargetkan mencapai 568 km. Sebagai perbandingan, Presiden Soeharto dalam rentang 1978 hingga 1998 atau selama 20 tahun hanya menghasilkan 490 km jalan tol. Pesiden BJ Habibie (7,2 km), Abdurrahman Wahid (5,5 km), Megawati Soekarno Putri (34 km), dan dua periode kepemimpinan SBY mencapai 212 km.

Jokowi, juga mengaku tengah menghapus kesan jawasentris yang melekat di Indonesia. Pulau-pulau besar lain, seperti Sumatra dan Kalimantan disasar juga sebagai target pembangunan. 

Ongkos yang besar tentu bukan perkara aneh. Apalagi, pemerintah hari ini lebih banyak menginvestasikannya secara jangka panjang. Nilai pun menjadi naik, tapi rasio utang sebesar 28 persen terhadap PDB juga penting untuk ditilik.

Mengacu pada batas maksimal 60 persen seperti yang ditetapkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, itu pertanda Indonesia masih dalam kondisi normal dan biasa-biasa saja. 

Apresiasi

Namun, anehnya secara tiba-tiba Indonesia diisukan genting.

Waspada harus, mengingatkan pemerintah wajib. Tapi, memanfaatkan isu utang secara serampangan untuk memupuk rasa pesimistis menjadi kian tak bijak.

Belakangan, marak kabar-kabar hoax dan spekulasi sembarang terhadap utang Indonesia. Nuansanya amat jelas, menyerang kepemimpinan Jokowi-JK.

Untungnya, hal itu cuma berlaku di jagat maya. Gelombang ujaran pesimistis itu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di dunia nyata.

Baca: Jokowi: Jangan Ada Lagi yang Pesimistis dengan Ekonomi RI

Baru-baru ini, lembaga survei internasional Gallup World Poll (GWP) merilis bahwa Indonesia berhasil menduduki puncak peringkat Trust and Confidence in National Government, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Variabel yang dipakai dalam penelitian itu, antara lain anggapan masyarakat tentang keandalan, kecepatan, ketanggapan, keadilan, serta sejauh mana pemerintah mampu melindungi masyarakat dari risiko, sekaligus efektifitas pelayanan publik.

Tolok ukur sebuah usaha pemerintah untuk memenuhi itu semua di antaranya adalah dengan mendorong terciptanya  infrastruktur dan akses bagi masyarakat luas. 

Tak tanggung-tanggung, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Pemerintah Indonesia meraih nilai hingga 80 persen. Angka ini, melesat jauh dari predikat yang dicapai pada 2007 lalu, dengan perolehan 52 persen saja.

Dalam publikasi bertajuk Government at a Glance 2017 yang diluncurkan pada 17 Juli itu, keberadaan Indonesia berhasil menyalip Swiss, India, Luksemburg, Norwegia dan Kanada. 

GWP bukan badan penelitian abal-abal. Lembaga riset berbasis di AS ini sudah cukup banyak dijadikan rujukan masyarakat internasional.

Gallup Poll, merupakan metode yang dipakai dalam jajak pendapat untuk menggambarkan opini publik. Sebutan ini diambil dari nama ahli statistik George Gallup yang pertama kali merumuskan metodologi tersebut pada 1935.

Ketenaran teknik Gallup dimulai ketika ia berhasil menyajikan data faktual saat meramalkan kemenangan Franklin D. Roosevelt atas Alfred M. Landon dalam pemilihan Presiden AS pada 1936. Maka, amat pantas jika GWP menjadi lembaga yang dipercaya Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di berbagai belahan dunia.

GWP tidak sendirian. Survei dengan hasil serupa juga telah dilakukan beberapa lembaga di Indonesia. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), misalnya, pada Kamis 8 Juni 2017 lalu merilis bahwa sebesar 74,8 persen masyarakat menilai arah kebijakan pemerintah Indonesia sudah cukup baik. 

Secara terperinci, dalam wawancara yang melibatkan 1.350 responden yang berasal dari seluruh Indonesia itu, sebanyak 40,5 persen responden mengaku merasakan keadaan ekonomi cukup baik dibanding tahun sebelumnya. Sejumlah 53,9 persen responden menyatakan optimistis bahwa keadaan ini di tahun mendatang akan lebih meningkat lagi.

Masih dalam survei yang sama, masyarakat juga mengaku puas terhadap kinerja Presiden dalam penegakkan hukum. Angkanya mencapai 45 persen. 

Sampai di sini, fakta yang nyata tentu harus lebih ditimbang. Dibanding sumber yang menyemburat dari media sosial dengan hitung-hitungan dan data yang sembarang.

Optimisme bersama mesti tetap dijaga. Toh, gaduh tidaknya negara menjadi untung rugi bersama.

Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi-JK terbukti telah menjalankan pembangunan dengan cara-cara yang teliti dan hati-hati, kreatif, inovatif, berfokus jelas, dan mampu menetapkan target secara terukur. 

Masyarakat Indonesia juga mengapresiasi kemampuan pemerintah dalam mengelola pembiayaan pembangunan. Di tengah aneka tantangan yang berat, Indonesia tetap mampu menatap masa depan penuh optimisme. 

Moral ceritanya, mungkin memang diperlukan 'menderita' satu dua tahun bagi Indonesia untuk meraih kemajuan yang pesat dan berkesinambungan di masa yang akan datang.

<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="http://ift.tt/2uRoPW4" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
...


Sumber : http://ift.tt/2tv5XbR

Demikianlah Artikel Sembarang Bicara Utang

Sekianlah artikel Sembarang Bicara Utang kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Sembarang Bicara Utang dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/07/sembarang-bicara-utang.html

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :