G20 dan Belit Globalisasi
G20 dan Belit Globalisasi
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul G20 dan Belit Globalisasi telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : G20 dan Belit Globalisasi
link : G20 dan Belit Globalisasi
Judul : G20 dan Belit Globalisasi
link : G20 dan Belit Globalisasi
Motobalapan | Berita Vlova - KTT G20 ke-12 berlangsung di Hamburg, Jerman, 7-8 Juli 2017, dan Presiden Jokowi menjadi lead speaker, pembicara utama bertema penanggulangan terorisme meski di sisi lain juga berbicara tentang persoalan ekonomi dan keuangan.
Hal ini menegaskan pembahasan KTT G20 ke-12 tidak terlepas dari pembahasan KTT G20 di Hangzhou, Tiongkok, 4-5 September 2016 lalu, dan juga KTT ASEAN di Vientiane, Laos, 6-9 September 2016, yang menegaskan urgensi pembahasan prospek ekonomi ke depan, terutama terkait dengan kondisi fluktuasi dan globalisasi.
Paling tidak, ini mengacu kasus Brexit yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap makroekonomi di Uni Eropa dan juga munculnya sejumlah konflik politik bilateral yang berpengaruh terhadap pasar global dan stabilitas sosial-ekonomi.
Brexit ialah pencabutan Britania Raya dari Uni Eropa pada akhir 2016 lalu. Pembahasan baik bilateral atau multilateral yang terjadi di KTT G20 menjadi acuan pemetaan potensi-prospek ekonomi pada 2018.
Terkait dengan itu, hasil KTT G20 pada 2016 lalu yang disebut sebagai Konsensus Hangzhou diharapkan menjawab perlambatan ekonomi saat ini dan itu terus dibahas dalam KTT G20 ke-12 pada 7-8 Juli 2017 di Hamburg, Jerman.
Baca: Negara G20 Diminta Tetap Berkomitmen Pada Agenda 2030 SDGs
Tidak bisa disangkal bahwa dampak Brexit akan semakin mengancam kondisi ekonomi. Paling tidak, optimisme terhadap pertumbuhan akan terkoreksi, setidaknya sampai akhir 2017 ini. Oleh karena itu, beralasan jika Bank Dunia merevisi target pertumbuhan 2017 menjadi 2,7 persen, sedangkan untuk negara maju dipatok 1,9 persen. Hal ini juga dilakukan IMF yang merevisi 2017 hanya 4,9 persen.
Artinya dampak Brexit harus dicermati karena implikasinya tidak hanya mengacu kepentingan bilateral, tetapi juga multilateral dan RI tidak bisa menghindar dari ancaman ini sehingga perlu ada kalkulasi dan langkah bijak untuk mereduksi dampak negatifnya.
Argumen ini menjadi dasar tentang urgensi kajian dalam KTT G-20 ke12 di Hamburg, Jerman kali ini.
Komitmen
Fokus utama kajian tetap terkait dengan globalisasi dan fluktuasi ekonomi, terutama esensinya terhadap prospek ekonomi 2017. Isu dalam KTT G20 pada dasarnya ialah tindak lanjut hasil pertemuan sejumlah forum sebelumnya sehingga ini menjadi penting karena kondisi ekonomi dunia yang kini terus berfluktuasi.
Bahkan, nilai tukar yang melemah berpengaruh terhadap harga bahan baku untuk semua proses produksi. Hal itu rentan memicu lemahnya daya beli sehingga beralasan jika kapasitas produksi tidak maksimal dan ancaman PHK massal akan terjadi.
Selain itu, sejumlah isu global juga rentan menyulut biaya tinggi dan ancaman inflasi tentu tidak bisa dihindari meski Juni ini inflasi 0,69 persen.
Oleh karena itu, fluktuasi ekonomi menjadi acuan penting untuk dicarikan solusi melalui forum KTT G20 kali ini meski, di sisi lain, tentu forum ini tidak mampu menjamin seratus persen keberhasilan penyelesaian fluktuasi ekonomi global dalam waktu sesaat karena ragam faktor yang mendasari.
Jika dicermati, persoalan fluktuasi ekonomi sebenarnya tidak hanya terjadi dalam kasus bilateral, tapi juga multilateral. Oleh karena itu, forum G20 menjadi muara untuk dapat mereduksi berbagai kemungkinan terburuk dari fluktuasi ekonomi.
Baca: Presiden Ingin G20 Jadi Solusi Berbagai Tantangan Global
Yang penting untuk dikaji pada dasarnya ialah bagaimana agar solusi yang muncul dari hasil pertemuan KTT G20 tidak hanya bersifat temporer, tapi juga jangka panjang.
Termasuk tentu bagaimana negara miskin berkembang tidak menjadi korban dari setiap terjadi fluktuasi ekonomi. Hal itu penting karena tidak dimungkiri selama ini mayoritas negara miskin berkembang menjadi korban dari krisis, termasuk juga dampak terhadap melemahnya nilai tukar mata uang domestik.
Kecenderungan itu tentu tidak bisa lepas dari kondisi fundamental ekonomi yang ada di mayoritas negara miskin berkembang relatif rapuh. Indonesia juga termasuk salah satu yang rentan menerima gejolak ekonomi global.
Oleh karena itu, beralasan jika hal ini juga sangat rentan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Fakta itu jelas sangat riskan terhadap kemampuan ekspor, apalagi selama ini banyak komponen bahan baku proses produksi masih diimpor.
Artinya, hal ini jelas berpengaruh kemampuan daya saing dan konsekuensinya ialah defisit neraca perdagangan. Padahal, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN juga menuntut daya saing. Kondisi makroekonomi di semester kedua 2017 tampaknya akan menjadi mimpi buruk. Apalagi tekanan terhadap kenaikan harga tidak bisa dihindari, sementara kemampuan APBN kian kecil.
Penerimaan pajak juga kian berat plus tekanan utang asing. Oleh karena itu, pemangkasan anggaran menjadi pilihan strategis, sementara tax amnesty tidak maksimal meraup dana.
Sosial politik
Implikasi dari beratnya tekanan makroekonomi itu berdampak serius bagi neraca perdagangan. Dalam konteks globalisasi, defisit neraca perdagangan menjadi ancaman serius karena hal itu mencerminkan kemampuan ekspor-impor.
Dalam perdagangan ASEAN ternyata defisit neraca perdagangan semakin tinggi, misalnya defisit USD282 juta dengan Brunei, USD511 juta dengan Malaysia, USD708 juta dengan Singapura, USD721 juta dengan Thailand, dan USD158 juta dengan Vietnam.
Baca: Indonesia akan Menyuarakan Perdagangan Bebas Secara Adil di G-20
Surplus nilai perdagangan terjadi dengan Kamboja USD234 juta, Laos USD18 juta, dengan Myanmar USD239 juta, dan dengan Filipina USD249 juta. Fakta itu mengindikasikan kemampuan daya saing perlu ditingkatkan dan karenanya beralasan jika pemberlakuan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) sempat dievaluasi dan direvisi.
Oleh karena itu, pertemuan G20 menjadi acuan mereduksi berbagai kemungkinan terburuk fluktuasi di semester akhir 2017 agar pada 2018 tidak semakin akut. Tidak bisa dimungkiri bahwa ekonomi biaya tinggi telah menjadi problem serius dan hal ini mereduksi daya saing.
Teoretis globalisasi seharusnya memberi peluang bagi semua negara untuk lebih memacu kinerja ekspor yang berpengaruh terhadap devisa dan neraca perdagangan. Di satu sisi, celah memacu kemampuan daya saing dari industri domestik semestinya juga perlu dilakukan agar produk yang dihasilkan mampu bersaing di pasar global.
Di sisi lain, globalisasi itu sendiri memberikan peluang dan sekaligus tantangan bagi semua pelaku usaha untuk memacu daya saing, terutama mengacu regulasi global, termasuk ketentuan tentang standarisasi produk global dan isu-isu strategis misalnya green product dan atau ecolabelling.
Oleh karena itu, era globalisasi ialah acuan untuk meningkatkan kualitas produk dengan semua konsekuensinya. Termasuk fluktuasi yang saat ini terjadi sehingga hasil dari forum KTT G20 ke-12 kali ini menjadi penting.
Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Doktor Ekonomi Manajemen UNS Solo
Hal ini menegaskan pembahasan KTT G20 ke-12 tidak terlepas dari pembahasan KTT G20 di Hangzhou, Tiongkok, 4-5 September 2016 lalu, dan juga KTT ASEAN di Vientiane, Laos, 6-9 September 2016, yang menegaskan urgensi pembahasan prospek ekonomi ke depan, terutama terkait dengan kondisi fluktuasi dan globalisasi.
Paling tidak, ini mengacu kasus Brexit yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap makroekonomi di Uni Eropa dan juga munculnya sejumlah konflik politik bilateral yang berpengaruh terhadap pasar global dan stabilitas sosial-ekonomi.
Brexit ialah pencabutan Britania Raya dari Uni Eropa pada akhir 2016 lalu. Pembahasan baik bilateral atau multilateral yang terjadi di KTT G20 menjadi acuan pemetaan potensi-prospek ekonomi pada 2018.
Terkait dengan itu, hasil KTT G20 pada 2016 lalu yang disebut sebagai Konsensus Hangzhou diharapkan menjawab perlambatan ekonomi saat ini dan itu terus dibahas dalam KTT G20 ke-12 pada 7-8 Juli 2017 di Hamburg, Jerman.
Baca: Negara G20 Diminta Tetap Berkomitmen Pada Agenda 2030 SDGs
Tidak bisa disangkal bahwa dampak Brexit akan semakin mengancam kondisi ekonomi. Paling tidak, optimisme terhadap pertumbuhan akan terkoreksi, setidaknya sampai akhir 2017 ini. Oleh karena itu, beralasan jika Bank Dunia merevisi target pertumbuhan 2017 menjadi 2,7 persen, sedangkan untuk negara maju dipatok 1,9 persen. Hal ini juga dilakukan IMF yang merevisi 2017 hanya 4,9 persen.
Artinya dampak Brexit harus dicermati karena implikasinya tidak hanya mengacu kepentingan bilateral, tetapi juga multilateral dan RI tidak bisa menghindar dari ancaman ini sehingga perlu ada kalkulasi dan langkah bijak untuk mereduksi dampak negatifnya.
Argumen ini menjadi dasar tentang urgensi kajian dalam KTT G-20 ke12 di Hamburg, Jerman kali ini.
Komitmen
Fokus utama kajian tetap terkait dengan globalisasi dan fluktuasi ekonomi, terutama esensinya terhadap prospek ekonomi 2017. Isu dalam KTT G20 pada dasarnya ialah tindak lanjut hasil pertemuan sejumlah forum sebelumnya sehingga ini menjadi penting karena kondisi ekonomi dunia yang kini terus berfluktuasi.
Bahkan, nilai tukar yang melemah berpengaruh terhadap harga bahan baku untuk semua proses produksi. Hal itu rentan memicu lemahnya daya beli sehingga beralasan jika kapasitas produksi tidak maksimal dan ancaman PHK massal akan terjadi.
Selain itu, sejumlah isu global juga rentan menyulut biaya tinggi dan ancaman inflasi tentu tidak bisa dihindari meski Juni ini inflasi 0,69 persen.
Oleh karena itu, fluktuasi ekonomi menjadi acuan penting untuk dicarikan solusi melalui forum KTT G20 kali ini meski, di sisi lain, tentu forum ini tidak mampu menjamin seratus persen keberhasilan penyelesaian fluktuasi ekonomi global dalam waktu sesaat karena ragam faktor yang mendasari.
Jika dicermati, persoalan fluktuasi ekonomi sebenarnya tidak hanya terjadi dalam kasus bilateral, tapi juga multilateral. Oleh karena itu, forum G20 menjadi muara untuk dapat mereduksi berbagai kemungkinan terburuk dari fluktuasi ekonomi.
Baca: Presiden Ingin G20 Jadi Solusi Berbagai Tantangan Global
Yang penting untuk dikaji pada dasarnya ialah bagaimana agar solusi yang muncul dari hasil pertemuan KTT G20 tidak hanya bersifat temporer, tapi juga jangka panjang.
Termasuk tentu bagaimana negara miskin berkembang tidak menjadi korban dari setiap terjadi fluktuasi ekonomi. Hal itu penting karena tidak dimungkiri selama ini mayoritas negara miskin berkembang menjadi korban dari krisis, termasuk juga dampak terhadap melemahnya nilai tukar mata uang domestik.
Kecenderungan itu tentu tidak bisa lepas dari kondisi fundamental ekonomi yang ada di mayoritas negara miskin berkembang relatif rapuh. Indonesia juga termasuk salah satu yang rentan menerima gejolak ekonomi global.
Oleh karena itu, beralasan jika hal ini juga sangat rentan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Fakta itu jelas sangat riskan terhadap kemampuan ekspor, apalagi selama ini banyak komponen bahan baku proses produksi masih diimpor.
Artinya, hal ini jelas berpengaruh kemampuan daya saing dan konsekuensinya ialah defisit neraca perdagangan. Padahal, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN juga menuntut daya saing. Kondisi makroekonomi di semester kedua 2017 tampaknya akan menjadi mimpi buruk. Apalagi tekanan terhadap kenaikan harga tidak bisa dihindari, sementara kemampuan APBN kian kecil.
Penerimaan pajak juga kian berat plus tekanan utang asing. Oleh karena itu, pemangkasan anggaran menjadi pilihan strategis, sementara tax amnesty tidak maksimal meraup dana.
Sosial politik
Implikasi dari beratnya tekanan makroekonomi itu berdampak serius bagi neraca perdagangan. Dalam konteks globalisasi, defisit neraca perdagangan menjadi ancaman serius karena hal itu mencerminkan kemampuan ekspor-impor.
Dalam perdagangan ASEAN ternyata defisit neraca perdagangan semakin tinggi, misalnya defisit USD282 juta dengan Brunei, USD511 juta dengan Malaysia, USD708 juta dengan Singapura, USD721 juta dengan Thailand, dan USD158 juta dengan Vietnam.
Baca: Indonesia akan Menyuarakan Perdagangan Bebas Secara Adil di G-20
Surplus nilai perdagangan terjadi dengan Kamboja USD234 juta, Laos USD18 juta, dengan Myanmar USD239 juta, dan dengan Filipina USD249 juta. Fakta itu mengindikasikan kemampuan daya saing perlu ditingkatkan dan karenanya beralasan jika pemberlakuan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) sempat dievaluasi dan direvisi.
Oleh karena itu, pertemuan G20 menjadi acuan mereduksi berbagai kemungkinan terburuk fluktuasi di semester akhir 2017 agar pada 2018 tidak semakin akut. Tidak bisa dimungkiri bahwa ekonomi biaya tinggi telah menjadi problem serius dan hal ini mereduksi daya saing.
Teoretis globalisasi seharusnya memberi peluang bagi semua negara untuk lebih memacu kinerja ekspor yang berpengaruh terhadap devisa dan neraca perdagangan. Di satu sisi, celah memacu kemampuan daya saing dari industri domestik semestinya juga perlu dilakukan agar produk yang dihasilkan mampu bersaing di pasar global.
Di sisi lain, globalisasi itu sendiri memberikan peluang dan sekaligus tantangan bagi semua pelaku usaha untuk memacu daya saing, terutama mengacu regulasi global, termasuk ketentuan tentang standarisasi produk global dan isu-isu strategis misalnya green product dan atau ecolabelling.
Oleh karena itu, era globalisasi ialah acuan untuk meningkatkan kualitas produk dengan semua konsekuensinya. Termasuk fluktuasi yang saat ini terjadi sehingga hasil dari forum KTT G20 ke-12 kali ini menjadi penting.
Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Doktor Ekonomi Manajemen UNS Solo
Demikianlah Artikel G20 dan Belit Globalisasi
Sekianlah artikel G20 dan Belit Globalisasi kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel G20 dan Belit Globalisasi dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/07/g20-dan-belit-globalisasi.html