'Bersih-bersih' Pegawai Negeri
'Bersih-bersih' Pegawai Negeri
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri
link : 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri
Judul : 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri
link : 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri
Motobalapan | Berita Vlova - Metrotvnews.com, Jakarta: Pagi, 19 Mei 1969, harian Indonesia Raya menjadi sorotan. Perkaranya, seorang Mochtar Lubis berani mengomentari secara lugas tentang untung-rugi keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS) dalam aktivitas partai politik (parpol).
Saat itu, Mochtar menganggap parpol sebagai sumber konflik dan ketidakstabilan negara. Ia menyebut, kondisinya; amat sangat tidak sehat.
Bahkan, Mochtar mencontohkan, ada juga kecenderungan oknum PNS yang tak segan meminta dana dari gubernur untuk menghadiri kongres parpol yang diikutinya, di Jakarta.
"Pegawai negeri harus tumbuh menjadi alat pemerintah yang objektif, lepas dari pengaruh perubahan-perubahan iklim politik," kata Mochtar dalam tajuk rencana yang ditulisnya.
Langsung atau tidak, ungkapan penulis novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) ini berbuah di satu semester kemudian. Pada 4 Desember 1969, lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12 tahun 1969 tentang Pemurnian Golongan Karya (Golkar) dalam pedoman Tata Pemurnian Wakil Golkar dalam DPRD Gotong Royong Tk. I dan Tk.II.
Aturan itu, melarang PNS untuk aktif dalam aktivitas dan keanggotaan parpol. Keharaman para birokrat di ranah politik ini kemudian diperkuat dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 1970 Tentang Pengaturan Kehidupan Politik Pejabat-pejabat dalam Rangka Pembinaan Sistim Kepegawaian Negeri Republik Indonesia.
Harapan Mochtar memang baik. Yakni, memurnikan para pengabdi negara dari kepentingan-kepentingan kelompok dan segala hal yang bersifat sesaat.
Namun beda soal, jika di kemudian hari aksi 'bersih-bersih' itu malah menggiring PNS ke dalam kekuatan politik tersendiri. Mereka, pada akhirnya dipaksa diam dan berteduh, di bawah 'Pohon Beringin.'
Baca: [Telusur] Wajah Para Birokrat di Tiga Zaman
Ideologi para pengabdi
Nyaris separuh abad kemudian, pemerintah merasa perlu kembali melakukan 'bersih-bersih' terhadap para pengabdi negeri. PNS, yang kini diistilahkan lebih luas ke dalam sebutan Aparatur Sipil Negara (ASN) diminta menanggalkan keterkaitannya dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Meski dalam situs resminya mendaku sebagai parpol, persoalan HTI melampaui cerita pada 1969 itu. HTI, yang terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) itu telah dibubarkan pemerintah karena dinilai berseberangan dengan ideologi yang dianut negara.
Tak tanggung-tanggung, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur mengatakan akan memberikan sanksi kepada ASN yang kekeuh melanggar.
Imbauan pemerintah ini sebagai tindak lanjut dari penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pemerintah mengaku telah mendapatkan banyak bukti bahwa gerakan HTI cenderung bertolak belakang dengan ideologi negara. Sementara dalam 15 Nilai-nilai Dasar ASN, nasionalisme dan keteguhan memegang teguh Pancasila menjadi landasan yang utama.
Baca: Menteri PANRB Akui Ada Informasi PNS Pengikut HTI
Arahan senada juga dikatakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Pemerintah memberikan aba-aba tentang keharusan bagi ASN untuk mundur dari keorganisasian HTI baik di tingkat pusat maupun daerah.
Ihwal loyalitas para pengabdi negara ini, Indonesia dengan ideologi Pancasila-nya memiliki aturan dasar yang kuat. Pancasila, memperkuat monoloyalitas atau loyalitas tunggal para ASN kepada negara, dan menepis terjadinya duo-loyalitas, alias loyalitas ganda.
Munculnya duo-loyalitas di waktu lalu menjadi perhatian pemerintah Orde Baru. Tetapi, cara mengatasinya malah dengan menyatukan aspirasi politik PNS ke dalam Golkar.
Duo-loyalitas dalam praktik kerap berdimensi politik. Menengok kondisi aktual di Malaysia hari ini, bolehlah dijadikan sebagai pembanding.
Di sana, identitas Melayu hendak 'dipertarungkan' dengan Islam. Di Malaysia, ada istilah bureaucratic peoples with Taliban Mentality, para birokrat dengan mentalitas Taliban. Istilah itu dialamatkan kepada para pegawai negara yang berambisi mengislamkan birokrasi pemerintahan Malaysia melalui cara-cara politik.
Partai Al Islam Se-Malaysia (PAS), kerap dituding berada di belakang gerakan islamisasi birokrasi Malaysia melalui gagasan formalisasi syariat Islam. Di seberangnya, ada UMNO. Parpol besar ini tetap bertahan pada cita-cita keberadaan Malaysia yang plural.
Maka, anjuran Pemerintah Indonesia soal HTI tadi tidak berlebihan. Sebab, bagaimana mungkin, ASN yang sebagian besar tugasnya berkutat pada pelaksanaan kebijakan negara tapi menganut ideologi yang tak sejalan dengan Pancasila.
Hanya saja ada yang sebenarnya jauh lebih penting. Pemerintah atau siapapun harus bijak dan hati-hati dalam memaknai 'bersih-bersih'. Sejarah kelam yang pernah ada di Indonesia, jangan sampai terulang kembali.
Baca: Perppu Terbit, ASN Mundur dari Ketua HTI Cirebon
Hati-hati dengan HTI
HTI bukan satu-satunya tantangan ideologi Pancasila. Sejarah Indonesia mencatat, tak sekali-dua pedoman hidup dalam kebinekaan ini mendapati ujian.
Paling mencolok dan mudah dihafal, kondisi sosial politik era 1965. Tepatnya, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dinilai sebagai ancaman dalam kehidupan bangsa dan negara.
Pasca-peristiwa nahas 30 September-1 Oktober 1965, ramai-ramai muncul tuntutan pembubaran parpol yang didirikan pada Mei 1914 itu. Soeharto, dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno mengabulkannya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 pada 12 Maret 1966.
Aturan itu, tak cuma berisi pembubaran PKI sebagai psrpol. Di dalamnya mencakup pelarangan semua organisasi yang dianggap masih seideologi dan sepandangan.
Belajar dari pengalaman pahit yang pada akhirnya merenggut ribuan nyawa itu, maka pembubaran HTI tidak boleh ditindak lanjuti secara perseorangan atau menyasar masing-masing pengikut dan eks pengurus yang pernah aktif di dalamnya.
Pemerintah, malah berkewajiban merangkul mantan simpatisan HTI agar berkenan kembali mengabdi dan mencintai Ibu Pertiwi.
Terkait pro-kontra keberadaan sanksi pidana bagi peroangan dalam Pasal 82A ayat (1) Perppu Ormas, pemerintah juga harus menegaskan bahwa hal itu hanya mungkin dilakukan ketika semua pelanggaran sudah terjadi dalam bentuk tindakan.
Alhasil, ASN yang pernah menjadikan HTI sebagai kiblat tak perlu khawatir berlebihan. Negara tetap mengharamkan siapapun melakukan persekusi, pengucilan, dan pengusiran.
...
Sumber : http://ift.tt/2w0sOwL
Saat itu, Mochtar menganggap parpol sebagai sumber konflik dan ketidakstabilan negara. Ia menyebut, kondisinya; amat sangat tidak sehat.
Bahkan, Mochtar mencontohkan, ada juga kecenderungan oknum PNS yang tak segan meminta dana dari gubernur untuk menghadiri kongres parpol yang diikutinya, di Jakarta.
"Pegawai negeri harus tumbuh menjadi alat pemerintah yang objektif, lepas dari pengaruh perubahan-perubahan iklim politik," kata Mochtar dalam tajuk rencana yang ditulisnya.
Langsung atau tidak, ungkapan penulis novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) ini berbuah di satu semester kemudian. Pada 4 Desember 1969, lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12 tahun 1969 tentang Pemurnian Golongan Karya (Golkar) dalam pedoman Tata Pemurnian Wakil Golkar dalam DPRD Gotong Royong Tk. I dan Tk.II.
Aturan itu, melarang PNS untuk aktif dalam aktivitas dan keanggotaan parpol. Keharaman para birokrat di ranah politik ini kemudian diperkuat dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 1970 Tentang Pengaturan Kehidupan Politik Pejabat-pejabat dalam Rangka Pembinaan Sistim Kepegawaian Negeri Republik Indonesia.
Harapan Mochtar memang baik. Yakni, memurnikan para pengabdi negara dari kepentingan-kepentingan kelompok dan segala hal yang bersifat sesaat.
Namun beda soal, jika di kemudian hari aksi 'bersih-bersih' itu malah menggiring PNS ke dalam kekuatan politik tersendiri. Mereka, pada akhirnya dipaksa diam dan berteduh, di bawah 'Pohon Beringin.'
Baca: [Telusur] Wajah Para Birokrat di Tiga Zaman
Ideologi para pengabdi
Nyaris separuh abad kemudian, pemerintah merasa perlu kembali melakukan 'bersih-bersih' terhadap para pengabdi negeri. PNS, yang kini diistilahkan lebih luas ke dalam sebutan Aparatur Sipil Negara (ASN) diminta menanggalkan keterkaitannya dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Meski dalam situs resminya mendaku sebagai parpol, persoalan HTI melampaui cerita pada 1969 itu. HTI, yang terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) itu telah dibubarkan pemerintah karena dinilai berseberangan dengan ideologi yang dianut negara.
Tak tanggung-tanggung, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur mengatakan akan memberikan sanksi kepada ASN yang kekeuh melanggar.
Imbauan pemerintah ini sebagai tindak lanjut dari penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pemerintah mengaku telah mendapatkan banyak bukti bahwa gerakan HTI cenderung bertolak belakang dengan ideologi negara. Sementara dalam 15 Nilai-nilai Dasar ASN, nasionalisme dan keteguhan memegang teguh Pancasila menjadi landasan yang utama.
Baca: Menteri PANRB Akui Ada Informasi PNS Pengikut HTI
Arahan senada juga dikatakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Pemerintah memberikan aba-aba tentang keharusan bagi ASN untuk mundur dari keorganisasian HTI baik di tingkat pusat maupun daerah.
Ihwal loyalitas para pengabdi negara ini, Indonesia dengan ideologi Pancasila-nya memiliki aturan dasar yang kuat. Pancasila, memperkuat monoloyalitas atau loyalitas tunggal para ASN kepada negara, dan menepis terjadinya duo-loyalitas, alias loyalitas ganda.
Munculnya duo-loyalitas di waktu lalu menjadi perhatian pemerintah Orde Baru. Tetapi, cara mengatasinya malah dengan menyatukan aspirasi politik PNS ke dalam Golkar.
Duo-loyalitas dalam praktik kerap berdimensi politik. Menengok kondisi aktual di Malaysia hari ini, bolehlah dijadikan sebagai pembanding.
Di sana, identitas Melayu hendak 'dipertarungkan' dengan Islam. Di Malaysia, ada istilah bureaucratic peoples with Taliban Mentality, para birokrat dengan mentalitas Taliban. Istilah itu dialamatkan kepada para pegawai negara yang berambisi mengislamkan birokrasi pemerintahan Malaysia melalui cara-cara politik.
Partai Al Islam Se-Malaysia (PAS), kerap dituding berada di belakang gerakan islamisasi birokrasi Malaysia melalui gagasan formalisasi syariat Islam. Di seberangnya, ada UMNO. Parpol besar ini tetap bertahan pada cita-cita keberadaan Malaysia yang plural.
Maka, anjuran Pemerintah Indonesia soal HTI tadi tidak berlebihan. Sebab, bagaimana mungkin, ASN yang sebagian besar tugasnya berkutat pada pelaksanaan kebijakan negara tapi menganut ideologi yang tak sejalan dengan Pancasila.
Hanya saja ada yang sebenarnya jauh lebih penting. Pemerintah atau siapapun harus bijak dan hati-hati dalam memaknai 'bersih-bersih'. Sejarah kelam yang pernah ada di Indonesia, jangan sampai terulang kembali.
Baca: Perppu Terbit, ASN Mundur dari Ketua HTI Cirebon
Hati-hati dengan HTI
HTI bukan satu-satunya tantangan ideologi Pancasila. Sejarah Indonesia mencatat, tak sekali-dua pedoman hidup dalam kebinekaan ini mendapati ujian.
Paling mencolok dan mudah dihafal, kondisi sosial politik era 1965. Tepatnya, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dinilai sebagai ancaman dalam kehidupan bangsa dan negara.
Pasca-peristiwa nahas 30 September-1 Oktober 1965, ramai-ramai muncul tuntutan pembubaran parpol yang didirikan pada Mei 1914 itu. Soeharto, dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno mengabulkannya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 pada 12 Maret 1966.
Aturan itu, tak cuma berisi pembubaran PKI sebagai psrpol. Di dalamnya mencakup pelarangan semua organisasi yang dianggap masih seideologi dan sepandangan.
Belajar dari pengalaman pahit yang pada akhirnya merenggut ribuan nyawa itu, maka pembubaran HTI tidak boleh ditindak lanjuti secara perseorangan atau menyasar masing-masing pengikut dan eks pengurus yang pernah aktif di dalamnya.
Pemerintah, malah berkewajiban merangkul mantan simpatisan HTI agar berkenan kembali mengabdi dan mencintai Ibu Pertiwi.
Terkait pro-kontra keberadaan sanksi pidana bagi peroangan dalam Pasal 82A ayat (1) Perppu Ormas, pemerintah juga harus menegaskan bahwa hal itu hanya mungkin dilakukan ketika semua pelanggaran sudah terjadi dalam bentuk tindakan.
Alhasil, ASN yang pernah menjadikan HTI sebagai kiblat tak perlu khawatir berlebihan. Negara tetap mengharamkan siapapun melakukan persekusi, pengucilan, dan pengusiran.
...
Sumber : http://ift.tt/2w0sOwL
Demikianlah Artikel 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri
Sekianlah artikel 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel 'Bersih-bersih' Pegawai Negeri dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/07/bersih-bersih-pegawai-negeri.html