Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya
Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya
- Hallo Oto Mania Berita Otomotif Terupdate, Pada Artikel otomotif kali ini berjudul Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya telah kami persiapkan dengan seksama untuk sahabat otomotif baca dan ambil informasi didalamnya.
Semoga artikel otomotif terupdate dan terbaru
Artikel Trending, yang kami tulis ini dapat memberi inspirasi dan nilai positif sebagaimana mestinya.
Judul : Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya
link : Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya
Judul : Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya
link : Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya
Motobalapan | Menurut Mahkamah, delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku (makar) telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan: “Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan”.
Pendek kata, munculnya isu "people power" selama Pemilu 2019 ini perlu dicermati berdasar delik makar yang dipaparkan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Artinya, upaya makar bisa ditindak tegas lebih dini tanpa harus menunggu adanya serangan dan menimbulkan korban.
Contoh kasus, orasi Eggi Sudjana soal ajakan 'people power' di depan kediaman capres 02 Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Rabu (17/4/2019), sudah dapat ditindak oleh aparat penegak hukum. Jadi sangat wajar jika polisi telah menetapkan sebagai tersangka kasus makar.
Selain kasus orasi Eggi Sudjana, ajakan revolusi politisi Partai Gerindra, Permadi, yang videonya jadi viral di media sosial juga bisa ditindak hukum yang mengarah upaya makar.
Seperti diketahui, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for Criminal Justice Reform(ICJR) pernah mengajukan uji materi Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 139 a, Pasal 139 b, dan Pasal 140 KUHP terkait definisi “makar” kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 7/PUU-XV/2017. Hasilnya, Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana tersebut.
Seperti dilansir hukumonline.com, dari hasil persidangan majelis hakim MK menyatakan tidak menerima dan menolak pengujian Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP yang dimohonkan warga Papua yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay yang merupakan korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar dengan nomor perkara 28/PUU-IV/2017.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 7/PUU-XV/2017 di Gedung MK Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Dalam permohonannya, ICJR menilai pengertian makar sendiri sebenarnya diartikan sifat suatu perbuatan, bukan serangan (aanslag). Seperti, makar menggulingkan pemerintahan yang sah, makar untuk memisahkan diri dari wilayah Indonesia, makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. Dengan begitu, apabila makar diartikan sebagai serangan mesti memenuhi unsur adanya serangan nyata dalam konteks tindakan kekerasan, seperti mempersiapkan adanya senjata, mobilisasi massa.
Atas dasar itu, ICJR meminta agar kata “makar” dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sama seperti aanslag atau serangan nyata. Hal ini diharapkan, aparat penegak hukum memiliki indikator yang jelas untuk membedakan mana yang benar-benar makar dan tidak. Kalau masyarakat atau mahasiswa demo meneriakan orasi ‘turunkan presiden’ nanti bisa disebut makar. Jadi, harus dibedakan mana ekspresi atau makar.
Dalam pertimbangannya, menurut Mahkamah tidak ditemukan konsep rumusan definisi makar yang didalilkan Pemohon (ICJR). Argumentasi pemohon yang memaknai kata “makar” dalam pasal-pasal KUHP sebagai “serangan” tanpa disertai formulasi yang jelas tentang unsur-unsur tidak pidananya sulit diterima Mahkamah.
Bagi Mahkamah bila definisi “makar” dimaknai sebagai serangan tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain yang dimohonkan pengujian terutama Pasal 87 KUHP justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya, penegak hukum hanya dapat bertindak terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana makar setelah ada serangan dan menimbulkan adanya korban.
Menurut Mahkamah delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku (makar) telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. “Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan,” tutur Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.
Tak hanya itu, tidak terdapat koherensi dan penalaran yang wajar bahwa norma pasal-pasal makar dalam KUHP bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan seseorang, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. “Karena itu, pengaturan pasal-pasal a quo telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.”
Hanya saja, Mahkamah mengingatkan penegak hukum harus bertindak hati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar atau kejahatan terhadap negara ini. “Sehingga, tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat (berekspresi) dalam negara demokratis. Atas dasar seluruh pertimbangan ini, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegasnya.
Sementara pertimbangan putusan No. 28/PUU-IV/2017 disebutkan dalil para Pemohon mengenai norma yang diuji dapat digunakan mengkriminalisasi warga negara yang menyuarakan demokrasi sama sekali tidak beralasan menurut hukum. “Kekhawatiran para Pemohon ada penyalahgunaan penerapan pasal-pasal a quo dalam kasus konkrit, itu sepenuhnya kewenangan hakim yang mengadili perkara kasus konkrit,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Atas dasar itu, dalil Pemohon sepanjang berkenaan norma Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 KUHP telah dipertimbangkan dan diputus melalui Putusan MK No. 7/PUU-XV/2017. Sedangkan, dalil para Pemohon tentang pemberontakan dan permufakatan jahat untuk melakukan makar dan pemberontakan yang diatur Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan: “Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan”.
Pendek kata, munculnya isu "people power" selama Pemilu 2019 ini perlu dicermati berdasar delik makar yang dipaparkan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Artinya, upaya makar bisa ditindak tegas lebih dini tanpa harus menunggu adanya serangan dan menimbulkan korban.
Contoh kasus, orasi Eggi Sudjana soal ajakan 'people power' di depan kediaman capres 02 Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Rabu (17/4/2019), sudah dapat ditindak oleh aparat penegak hukum. Jadi sangat wajar jika polisi telah menetapkan sebagai tersangka kasus makar.
Selain kasus orasi Eggi Sudjana, ajakan revolusi politisi Partai Gerindra, Permadi, yang videonya jadi viral di media sosial juga bisa ditindak hukum yang mengarah upaya makar.
Bagaimana penjelasan hukumnya? Untuk mengetahui lebih detail, ada baiknya membaca permohonan uji materi pasal makar yang pernah diajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for Criminal Justice Reform(ICJR) pada tahun 2017 silam
Seperti diketahui, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for Criminal Justice Reform(ICJR) pernah mengajukan uji materi Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 139 a, Pasal 139 b, dan Pasal 140 KUHP terkait definisi “makar” kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 7/PUU-XV/2017. Hasilnya, Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana tersebut.
Seperti dilansir hukumonline.com, dari hasil persidangan majelis hakim MK menyatakan tidak menerima dan menolak pengujian Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP yang dimohonkan warga Papua yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay yang merupakan korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar dengan nomor perkara 28/PUU-IV/2017.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 7/PUU-XV/2017 di Gedung MK Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Dalam permohonannya, ICJR menilai pengertian makar sendiri sebenarnya diartikan sifat suatu perbuatan, bukan serangan (aanslag). Seperti, makar menggulingkan pemerintahan yang sah, makar untuk memisahkan diri dari wilayah Indonesia, makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. Dengan begitu, apabila makar diartikan sebagai serangan mesti memenuhi unsur adanya serangan nyata dalam konteks tindakan kekerasan, seperti mempersiapkan adanya senjata, mobilisasi massa.
Atas dasar itu, ICJR meminta agar kata “makar” dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sama seperti aanslag atau serangan nyata. Hal ini diharapkan, aparat penegak hukum memiliki indikator yang jelas untuk membedakan mana yang benar-benar makar dan tidak. Kalau masyarakat atau mahasiswa demo meneriakan orasi ‘turunkan presiden’ nanti bisa disebut makar. Jadi, harus dibedakan mana ekspresi atau makar.
Dalam pertimbangannya, menurut Mahkamah tidak ditemukan konsep rumusan definisi makar yang didalilkan Pemohon (ICJR). Argumentasi pemohon yang memaknai kata “makar” dalam pasal-pasal KUHP sebagai “serangan” tanpa disertai formulasi yang jelas tentang unsur-unsur tidak pidananya sulit diterima Mahkamah.
Bagi Mahkamah bila definisi “makar” dimaknai sebagai serangan tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain yang dimohonkan pengujian terutama Pasal 87 KUHP justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya, penegak hukum hanya dapat bertindak terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana makar setelah ada serangan dan menimbulkan adanya korban.
Menurut Mahkamah delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku (makar) telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. “Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan,” tutur Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.
Tak hanya itu, tidak terdapat koherensi dan penalaran yang wajar bahwa norma pasal-pasal makar dalam KUHP bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan seseorang, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. “Karena itu, pengaturan pasal-pasal a quo telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.”
Hanya saja, Mahkamah mengingatkan penegak hukum harus bertindak hati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar atau kejahatan terhadap negara ini. “Sehingga, tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat (berekspresi) dalam negara demokratis. Atas dasar seluruh pertimbangan ini, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegasnya.
Sementara pertimbangan putusan No. 28/PUU-IV/2017 disebutkan dalil para Pemohon mengenai norma yang diuji dapat digunakan mengkriminalisasi warga negara yang menyuarakan demokrasi sama sekali tidak beralasan menurut hukum. “Kekhawatiran para Pemohon ada penyalahgunaan penerapan pasal-pasal a quo dalam kasus konkrit, itu sepenuhnya kewenangan hakim yang mengadili perkara kasus konkrit,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Atas dasar itu, dalil Pemohon sepanjang berkenaan norma Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 KUHP telah dipertimbangkan dan diputus melalui Putusan MK No. 7/PUU-XV/2017. Sedangkan, dalil para Pemohon tentang pemberontakan dan permufakatan jahat untuk melakukan makar dan pemberontakan yang diatur Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak beralasan menurut hukum.
Demikianlah Artikel Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya
Sekianlah artikel Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Eggi Sudjana dan Permadi Layak Dijerat Pasal Makar: Ini Penjelasan Hukumnya dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2019/05/eggi-sudjana-dan-permadi-layak-dijerat.html