Memperkuat Demokrasi Presidensial
Judul : Memperkuat Demokrasi Presidensial
link : Memperkuat Demokrasi Presidensial
Sebuah optimisme untuk sistem demokrasi berkualitas lahir dengan pengesahan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (UU Pemilu) oleh DPR kemarin.
Dalam UU Pemilu itu dicantumkan bahwa ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold) 20%-25% dari perolehan kursi atau suara sah nasional.
UU Pemilu juga mencantumkan ambang batas parlemen 4%.
Selain itu, disepakati pula sistem pemilu terbuka, alokasi kursi per dapil sebesar 3-10, dan konversi suara yang menggunakan metode sainte lague murni.
Metode yang menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil ini pada intinya melakukan penghitungan suara secara proporsional, yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar.
Untuk menghasilkan kelima poin krusial itu, DPR menempuh lobi panjang dan alot.
Bahkan, empat fraksi tetap tidak bersepakat dan malah memilih meninggalkan rapat (walkout).
Keempat fraksi tersebut ialah Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN.
Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKS berkukuh dengan presidential threshold 0%, ambang batas parlemen 4%, sistem pemilu terbuka, dan metode konversi suara hare quota.
Sementara itu, PAN tidak memilih paket apa pun.
Dengan demikian, kita pantas mengapreasi keenam fraksi lainnya yang bisa bermufakat dalam pembahasan kelima poin krusial tadi.
Keenam fraksi tersebut ialah PDIP, Golkar, NasDem, PKB, Hanura, dan PPP.
Mufakat ini tidak saja menghindarkan kita dari pemborosan energi akibat lobi-lobi berlarut, tetapi juga meneguhkan demokrasi yang berkualitas.
Dalam sistem pemilu yang baru disepakati ini, ambang batas itu memastikan bahwa presiden dan wakilnya yang terpilih telah memiliki dukungan minimal parpol atau gabungan parpol di parlemen.
Presiden lebih leluasa menjalankan kebijakannya karena mendapat dukungan koalisi parpol.
Dengan begitu, ambang batas ini memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Ini tentu jelas hal yang sangat dibutuhkan bagi jalannya pemerintahan yang efektif.
Itu artinya ambang batas tetap diperlukan sebab tanpanya negara ini bisa dibanjiri calon presiden yang tidak teruji sekalipun.
Partai-partai baru berlomba masuk ke sistem demokrasi hanya demi ambisi meraih kursi presiden.
Bila itu yang terjadi, sistem pemilu tanpa ambang batas sesungguhnya bukan kemenangan demokrasi, melainkan bisa membuat politik karut-marut.
Tentu saja parpol yang walkout tidak setuju dengan argumen bahwa ambang batas pencalonan presiden bisa menyederhanakan pilpres dan memperkuat sistem presidensial.
Kita menghargai perbedaan pendapat seperti itu karena ia sah dalam demokrasi.
Akan tetapi, tidaklah pas bila parpol-parpol tersebut memvonis ambang batas pencalonan presiden inkonstitusional.
Pengesahan UU Pemilu dilakukan melalui mekanisme yang sah karenanya konstitusional sampai Mahkamah Konstitusi memutuskan sebaliknya.
Itu artinya yang berhak menyatakan UU Pemilu dengan ambang batas presiden 20%-25% inkonstitusional hanyalah MK.
Parpol atau siapa pun yang punya legal standing dan tidak sependapat dengan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu yang baru silakan mengajukan uji materi ke MK.
Demikianlah Artikel Memperkuat Demokrasi Presidensial
Anda sekarang membaca artikel Memperkuat Demokrasi Presidensial dengan alamat link https://motobalapan.blogspot.com/2017/07/memperkuat-demokrasi-presidensial.html